Langkah Strategis Menyelamatkan Sumber Daya Mineral Indonesia
Kepulauan Indonesia dengan keanekaragaman hayatinya, berada dalam ancaman bahaya ekologi sangat serius. Setelah puluhan tahun mengalami eksploitasi massif oleh negara dan modal, masih saja dibanjiri oleh langkah-langkah blunder untuk memacu investasi di sektor pertambangan. Kita tak memiliki strategi jitu untuk menyelamatkan kepentingan pelestarian lingkungan hidup, kepentingan penduduk local, dan "pembiaran" mineral untuk generasi mendatang. Pemerintah malahan terus menerus memberi izin pada perusahaan pertambangan untuk mengekstrasi sumber daya mineral Indonesia.
Padahal, dihitung-hitung, kontribusi industri pertambangan untuk negara sangat rendah, berkisar antara 1-3 persen dari total pendapatan negara (seperti dikemukakan anggota DPR RI, Pramono Anung Wibowo, dan kertas kerja Econit Advisory Group). Anehnya, industri keruk yang begitu destruktif masih menjadi primadona bagi negara. Bahkan negara tak segan mengeluarkan regulasi yang sangat menguntungkan pemodal di sektor pertambangan.
Secara sistematis pemerintah berupaya mempertahankan eksistensi pertambangan di Indonesia. Bahkan dengan berani menggadaikan nasib generasi mendatang; kahancuran lingkungan hidup; penderitaan masyarakat adat; menurunya kualitas hidup penduduk lokal; meningkatnya kekerasan terhadap perempuan; dan kehancuran ekologi pulau-pulau.
Beberapa kasus tertentu menunjukan , pemerintah tak segan menggunakan aparat pertahanan dan keamanan untuk merepresi rakyat yang melawan kehadiran pertambangan di tanah mereka. Dari situ pelanggaran HAM pun terjadi. Tidak heran jika industri pertambangan di Indonesia tergolong industri yang sarat dengan pelbagai peristiwa pelanggaran HAM.
Akar persoalan buruknya politik pertambangan kita, baik di tingkat perangkat hukum maupun praktek riil pertambangannya. Oleh karena itu diperlukan suatu perubahan mendasar dan paradigmatik terhadap kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia. Jalan menuju perubahan yang fundamental itu adalah Moratorium Kegiatan Pertambangan.
Mengapa Moratorium?
Semangat eksploitasi (jual murah dan jual habis) adalah warna kental kebijakan pertambangan di Indonesia. Pembiaran mineral di perut bumi untuk generasi mendatang dan kelestarian lingkungan hidup seolah menjadi agenda yang tabu dan dosa bagi pengurus negara.
Kesalahan utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing ---yang diikuti penandatanganan kontrak karya (KK) generasi I antara pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran . Disusul dengan UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi pada kekuatan modal besar dan eksploitatif. Dampak susulannya adalah keluarnya berbagai regulasi pemerintah yang berpihak pada kepentingan modal. Dari kebijaakan-kebijakannya sendiri, akhirnya pemerintah terjebak dalam posisi lebih rendah dibanding posisi modal yang disayanginya. Akibatnya, pemerintah tidak bisa bertindak tegas terhadap perusahaan pertambangan yang seharusnya patut untuk ditindak.
Desakan untuk mengubah UU pertambangan bermunculan dalam kurun 3 tahun terakhir. Namun gara-gara rentang waktu orientasi pertambangan yang keliru itu telah berlangsung terlalu lama. Hingga tidak heran jika banyak kalangan yang terhegemoni, termasuk pihak pembuat kebijakan. Akibatnya, upaya perbaikan ketentuan-ketentuan hukum pertambangan saat ini pun masih diwarnai pendekatan lama yang eksploitatif dan jual habis, termasuk draft RUU pertambangan yang baru .
Untuk memutus mata rantai perbaikan kebijakan pertambangan yang tambal sulam itu, diperlukan suatu terobosan baru yang berani, yaitu moratorium. Dengan moratorium kegiatan pertambangan, pemerintah akan lebih mampu menata pijakan dasar kebijakan dan orientasi pertambangan Indonesia masa depan, yang pro terhadap kepentingan lingkungan hidup, penduduk lokal, bangsa, dan kepentingan generasi masa depan. Dengan demikian, pemerintah akan berhasil melahirkan suatu strategi baru pertambangan yang bijak berdasarkan pertimbangan yang rasional termasuk kepentingan penduduk lokal, kualitas lingkungan hidup, penghitungan tingkat keterancaman ekologi pulau-pulau, jenis dan jumlah kebutuhan riil bahan tambang oleh bangsa dan pembiaran atau pencadangan mineral untuk kepentingaan generasi mendatang.
Bagaimana Memulai Moratorium?
Moratorium pertambangan bisa berjalan jika ada political will pemerintah. Selain itu, pressure yang kuat dari rakyat dan wakil-wakilnya di parlemen pada pemerintah akan mempercepat terealisasinya gagasan moratorium pertambangan. Demi penyelamatan sumberdaya mineral, keberlanjutan eksistensi bangsa dan jaminan kepastian dalam investasi bagi modal, pemerintah harus berani mengambil langkah-langkah untuk moratorium pertambangan.
Walaupun saat ini moratorium adalah isu yang tidak populer dimata modal. Ada 5 langkah yang perlu di tempuh untuk mengkonkritkan gagasan moratorium pertambangan. Keempat langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Stop Perizinan Baru
Sejak tahun 1967 hingga saat ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen Pertambangan dan Energi, (kini Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) seolah merasa bangga jika berhasil mengeluarkan izin pertambangan sebanyak mungkin. Tidak heran jika sampai dengan tahun 1999 pemerintah telah "berhasil" memberikan izin sebanyak 908 izin pertambangan yang terdiri dari kontrak karya (KK), Kontrak karya Batu Bara (KKB) dan Kuasa Pertambangan (KP), dengan total luas konsesi 84.152.875,92 Ha atau hampir separuh dari luas total daratan Indonesia . Jumalh tersebut belum termasuk perijinan untuk kategori bahan galian C yang perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa SIPD.
Walaupun baru sebagian kecil dari perusahaan yang memiliki izin itu melakukan kegiatan eksploitasi, namun dampaknya sudah terasa menguatirkan. Oleh karena itu diperlukan ketegasan pemerintah untuk tidak lagi mengeluarkan izin pertambangan sampai ada suatu perubahan yang mendasar terhadap politik hukum pertambangan.
2. Evaluasi Perizinan Yang Telah Diberikan
Langkah kedua yang sebaiknya ditempuh pemerintah adalah mengevaluasi perizinan yang telah diberikan. Bagi pemilik izin yang tidak melakukan aktifitas penambangan, berdasarkan berbagai ketentuaan yang berlaku, pemerintah berhak untuk mencabut perizinannya. Upaya evaluasi terhadap perizinan yang telah diberikan sebaiknya dilakukan secara sistematis untuk seluruh jenis perizinan yang ada. Bila langkah ini dilakukan tidak mustahil pemerintah akan menemukan banyak pemegang izin yang tidak melakukan aktifitas penambangan, sehingga izin mereka patut untuk dibekukan.
3. Tinggikan Standar Kualitas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Adalah kenyataan bahwa untuk merangsang invertor pertambangan ke Indonesia, pemerintahaan lama menjadikan isu lingkungan hidup sebagai isu pelengkap semata. Sejauh ini, tak terlihat komitmen pemerintah untuk menindak tegas mereka yang melakukan perusakan lingkungan hidup. Rendahnya komitmen untuk pelestarian lingkungan hidup juga terlihat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah. Tumpang tindih antar satu peraturan dengan peraturan yang lain, atau kecilnya kewajiban pengelolaan lingkungan hidup yang baik oleh pelaku bisnis bagitu mudah terlihat.
4. Pelembagaan Konflik
Sengketa antara penduduk lokal dengan perusahaan pertambangan yang saat ini beroperasi terbilang cukup tinggi. Hal itu disebabkan kebijakan pertambangan tidak berpihak pada kepentingan penduduk lokal.
Untuk menyelesaikan sengketa rakyat dengan perusahaan pertambangan, diperlukan suatu upaya pelembagaan konflik agar tercapai solusi yang memuaskan berbagai pihak. Pelembagaan konflik ini seharusnya diprakarsai negara dan perusahaan tambang melalui mekanisme resolusi konflik. Resolusi konflik hanya bisa tercapai jika melibatkan semua stake holder yang berada pada posisi yang sederajat. Resolusi konflik pertambangan sebaiknya dijadikan kebijakan pemerintah, dengan melibatkan fasilitator profesional agar terhindar dari dominasi pihak-pihak yang bersengketa. Kesepakatan-kesepakatan yang dibangun dalam mekanisme resolusi konflik sebaiknya dijadikan bagian dari re-negosiasi kontrak, sehingga secara hukum mengikat pihak perusahaan.
5. Kebijakan Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Mineral
Untuk menyelamatkan sumberdaya mineral dan eksistensi bangsa dimasa mendatang, diperlukan kebijakan yang secara tekstual mengatur pemanfaatan mineral atas dasar kebutuhaan rill bangsa saat ini dan generasi mendatang. Kebijakan seperti itu yang kemudian dijadikan rujukan perbaikan peraturan perundang-undangan pertambangan. Oleh karena itu, strategi pemanfaatan sumberdaya mineral sebaiknya tertuang dalam Ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sehingga secara hierarkis berada pada posisi yang lebih tinggi dari UU.
Agar menjadi pedoman dalam menyusun peraturan perundang-undangan pertambangan yang baru, sebaiknya TAP MPR menyatakan dengan jelas pentingnya dilakukan pengkajian secara cermat tentang seberapa parahnya tingkat kerusakan lingkungan hidup dan keterancaman ekologi berbasis pulau. Penghitungan itu disertai pertimbangan riil aktifitas industri keruk yang telah ada, seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) Perkebunan besar monokultur, dan pertambangan. Selain itu perlu dihitung dengan cermat laju kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh indutri keruk.
Juga diperlukan penghitungan tentang jenis mineral yang riil dibutuhkan bangsa saat ini, berapa besar jumlah kebutuhannya, serta berapa dugaan potensi mineral tersedia, kemudian dibandingkan dengan prediksi kebutuhan generasi mendatang. Kalkulasi-kalkulasi itu menjadi penting untuk diikuti oleh pemerintah dalam membuat strategi pemanfaatan sumberdaya mineral yang berorientasi jangka panjang. Stategi yang telah dibuat itu, dijadikan pijakan utama pembuatan protokol-protokol operasi pertambangan pasca moratorium.
SUMBER:
Makalah, Chalid Muhammad. Disampaikan pada Temu Profesi Tahunan (TPT) IX dan Kongres IV Perhimpinan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), 14 September 2000.
Informasi lebih lanjut: Kontak JATAM
(Jaringan Advokasi Tambang)