Monday, April 13, 2009

BERTANYA PADA IKAN PAUS?

Oleh D Elcid Li
Peneliti spesies manusia, anggota Forum Academia NTT (FAN), sedang dikonservasi di Birmingham, Inggris


KETIKA pertama kali diteliti oleh perwakilan pemberi beasiswa (Ford Foundation) tiga tahun lalu penulis ditanya, "Apa hal yang paling berbeda antara di sini (Birmingham, Inggris) dan di Indonesia yang mengagetkan Anda?" Saya menjawab, "Kalau di sini anjing yang obesitas (kelebihan berat badan) ada program khusus untuk diet, menurunkan berat badan, sedangkan di kampung bayi yang mati busung lapar tidak ada yang peduli." Peneliti yang juga antropolog dari AS itu diam.

Mungkin ada yang ia pikirkan.

Cerita di atas seolah terulang kembali ketika membaca berita tentang pecinta ikan paus dan program insitusi lingkungan global semacam WWF (World Wild Fund) yang hendak membikin lokasi konservasi baru di Laut Sawu, dan bingungnya nelayan Lamalera yang merasa terancam penghidupannya.

Tulisan ini semata-mata mencoba mendudukkan di mana artinya manusia di mata manusia lain dengan pandangan bahwa sejarah manusia itu berbeda dan itu membuat pandangannya terhadap dunia pun beda. Alur tulisan ini ada dalam alur anthropocentric. Argumentasi lanjutannya dalam pandangan hidup di Indonesia dikenal dengan nama berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), atau dalam ulasan yang lebih memadai oleh Ivan Illich (1973) disebut conviviality. Konsep ini coba dibuka untuk melihat kembali kaitan antara intervensi lembaga lingkungan ini dan implikasinya terhadap kemampuan berdikari masyarakat.

Pornografi WWF?
Kisah ini bermula dua tahun silam, ketika sejumlah wartawan takjub meliput ada 'dermawan' yang memberikan kamera kepada warga pesisir di Lamalera, di Pulau Lembata untuk merekam kehidupan mereka. Hasil pengambilan gambar itu kemudian dibawa ke mana-mana untuk dipamerkan oleh institusi pencinta satwa liar ini.

Sebagian orang di kalangan ini menyebut sebagai usaha penelitian partisipatif. Menyertakan masyarakat dalam terlibat dalam project itu. Tetapi, apakah benar begitu, kita yang tamu malah mengajak orang setempat untuk terlibat? Kapan ada waktu untuk mengenal mereka, dan keluar dari manual project yang dibawa, sehingga kita pun bisa orisinil dan asli dalam bereaksi? Dan slogan partisipasi tak seperti slogan orang yang hendak menyuntik serum tanpa perlu tahu apa penyakit? Atau, kalau pun tak ada penyakit, tetap saja intervensi itu harus dijalankan dengan asumsi bahwa yang sederhana dan berbeda itu tetap keliru dan harus diperbaiki?

Pertanyaan-pertanyaan itu ditunda dulu. Sejumlah warga di Lamalera dilukiskan oleh para juru warta sibuk dan gembira menggunakan kamera (pinjaman yang totalnya 50 biji) untuk mengambil gambar seisi kehidupan mereka. Tapi dua minggu ini di akhir Bulan Maret 2009, berita tentang embrio ide pelarangan perburuan ikan paus; maupun setelah mendapat reaksi keras pihak pecinta ikan paus memberi alibi/mengedit pesan menjadi: yang dilarang adalah perburuan ikan paus tertentu dan yang sedang hamil. Dan seorang penelitinya berujar, "Ini serupa dengan apa yang telah menjadi kearifan masyarakat lokal?"

Pertanyaan kepada para cerdik pandai ini, "Jikalau kearifan itu sama dengan apa yang hendak kalian paparkan, lantas mengapa para orangtua di kampung harus ketakutan?" Dan lagi, "Jikalau sama apa yang hendak kalian bedakan dengan menambah peraturan ini?" Kalau pun para nelayanLamalera bukanlah target utama dari project WWF, mengapa intervensi itu langsung diarahkan kepada mereka? Kalau memang nelayan dengan kapal-kapal moderen yang menjadi target, kenapa kalian harus pergi ke Lamalera?

Firasat dulu ketika membaca berita di atas itu ternyata terbukti, kamera yang dipinjamkan kepada masyarakat adalah 'kuda troya' untuk mempertontokan aurat kehidupan masyarakat ini. Singkat kata, air susu dibalas dengan air tuba. Atau, dalam bahasa yang lebih tajam, para kawan-kawan dari WWF tidak mengerti manusia dan lebih mengerti 'satwa liar', sehingga tidak tahu mengucapkan kata 'terima kasih' dengan pantas untuk kepercayaan masyarakat yang pernah menerima mereka dengan suka cita. Sehingga hari-hari ini berita yang ada di media adalah suara kebingungan orang kampung para nelayan pemburu ikan paus tradisional yang dilakukan musiman.

Bagi para peneliti satwa liar dan para pegawainya. Lamalera hanyalah tempat singgah sementara untuk sebuah project. Bahkan dalam pandangan ilmuwan, ini cuma satu titik perjalanan kawanan ikan paus dalam berenang mengarungi bumi. Sedangkan bagi orang Lamalera di laut inilah tempat hidup mereka. Dua cara pandang yang berbeda, terkait dengan diri (subyektivitas).

Jika seorang ahli ikan paus bisa membedakan sekian species ikan paus, maka izinkanlah kita bersama-sama mencoba membedakan species manusia sebagai bentuk konkrit lanjutan dari tradisi berpengetahuan barat mengikuti August Comte, perintis sosiologi di Paris. Tesis utama dari pikiran ini, menurut saya: "Semua manusia sama di mata Tuhan, tetapi setiap manusia tidak sama di mata manusia."

Perbedaan Species Manusia
Seorang ilmuwan yang meneliti ikan paus mungkin lebih mengenal ikan paus dibanding mengenal species-nya yang sejenis: manusia, dengan variasi warna kulit (pigmen) yang disebut ras, stratifikasi ekonomi (kelas), maupun kumpulannya yang disebut bangsa, apalagi perbedaan budaya tempatnya berpijak. Jika ikan paus bisa diamati perjalanannya mengelilingi bumi dengan memasang tag, dan memantaunya lewat satelit, maka untuk mengerti manusia aslinya jauh lebih kompleks, sudah pasti kita tidak hanya berbicara ia sudah berenang/berjalan ke mana saja, makan apa untuk bertahan hidup, dan apa yang ia maksudkan dengan hidup.

Untuk itu menyamaratakan manusia dan ikan paus pun perlu dilihat dari cara pandang yang berbeda. Bagi seorang pegawai lembaga lingkungan internasional, kawasan konservasi seperti kebun binatang internasional yang bisa ia kunjungi sesekali. Sedangkan bagi para nelayan Lamalera, itulah hidup mereka.

Bicara soal budaya dan perangkat sosial di dalamnya tidak mungkin dimengerti oleh para kaum kosmopolitan yang tak mengerti artinya rumah. Para pegawai lembaga jenis ini masuk kampung dan bertemu manusia lain seperti melihat makhluk eksotis, dan ketika bertemu dengan manusia yang sama di ruang yang lain, ia pasti akan bertindak berbeda dalam menyapa. Terasa benar bahwa: 'di mata manusia, manusialain tidaklah sama'.

Menikmati Pornografi Pengetahuan
Ketika gunung hilang dan sekian satwa hilang di Papua dimakan Freeport, itu tidak pernah menjadi perhatian WWF, dan tidak pernah dibicarakan di forum-forum resmi. Karena itu bagian dari modernitas. Sebaliknya sejumlah satwa eksotis yang melintas perkampungan nelayan menjadi perhatian. Jika WWF benar-benar ingin heroik membela satwa tentu berpikir bahwa proyek-proyek tambang yang sudah diprotes sekian aktivis tambang itu menyimpan persoalan. Karena persoalan tambang pun menjadi persoalan di Lembata, karena mengancam aspek penghidupan masyarakat setempat.

Sepertinya WWF meletakkan ini sebagai blind spot, dan tidak mau belajar. Sebab konsep harmoni yang dimaksud WWF masih hanya dalam dualisme manusia dengan binatang, sedangkan harmoni melibatkan manusia dan manusia lain belum menjadi hitungan. Hal ini luput dalam kajian karena epistemologi pengetahuan yang dipakai ada dalam langgam ilmu alam.

Kehidupan orang moderen biasanya hanya satu jalur. Kalau ia ingin menjadi pemain sepak bola maka ia hanya hidup dan disiapkan untuk menjadi sepak bola. Begitu pun seorang peneliti ikan paus, keintimannya pada ikan paus melebihi rasa sayangnya pada manusia. Ia bisa jatuh cinta pada ikan paus dan melupakan keluarganya. Itu biasa.

Project pun bukan mengikuti arus laut, tetapi mengikuti arus uang. Putaran ekonomi. Sebab itu para nelayan dari Lamalera tidak bisa mengatur hidup orang di Eropa. Tetapi orang dari Eropa bisa datang dan mengatur 'hidup' nelayan di Lamalera. Atau orang dari Lamalera tidak bisa mengatur seorang aktivis lingkungan yang berumah di Jakarta. Karena memang kita tidak sama. Untuk itu seorang ilmuwan pakar ikan paus tentu harus lebih bisa bertanggung jawab ketika menyebut: 'sama itu'. Apanya yang sama?

'Konservasi' ikan paus ini pun bisa dipandang sebagai ekspresi 'kegilaan' manusia moderen yang tidak mampu menemukan hidup (lagi). Apakah dengan mengerti jalur perjalanan ikan paus di bumi, lantas Anda lebih mengerti soal hidup? Dan peneliti itu menjawab, "Kami mengerti hidup Anda karena sudah melihat seluruh gambar Anda." Maka pertanyaannya pada peneliti, "Apakah kami ini kalian anggap seperti ikan di dalam aquarium?"

Orang-orang yang melihat melihat manusia lain sebagai benda bukanlah manusia, sehingga tidak perlu didengarkan. Cukup dimengerti saja. Tetapi lain kali, siapa pun yang berbaik hati datang membawa bantuan/memberikan fasilitas perlulah kita bertanya, "Ada maksud apa?" Sebab saat ini yang baik itu makin jarang yang gratis. Itu bisa jadi sekedar jerat, meletakkan kita dalam tata pengetahuannya dan dalam piramida kuasa.

Ataukah para ahli ikan paus dan para aktivis WWF merasa lebih mengerti manusia dengan bertanya pada ikan paus? "Bukankah ikah paus tidak bisa berbicara?" Memang benar ikan paus tidak bisa berbicara, sehingga 'aku' kalianlah yang bicara, seolah-olah mengerti ikan paus, padahal hanya mengerti diri sendiri.

Kenapa Harus Protes?
Dalam pandangan berdikari, setidaknya ada tiga alasan mengapa cara kerja WWF perlu ditolak. Pertama, project WWF ini mengancam pola hidup subsisten masyarakat laut Lamalera. Kedua, seharusnya sejak awal agenda WWF perlu dibuka sehingga proses 'berpatner' ini tidak menjadi arena penaklukan. Ketiga, metode partitipatif yang melibatkan penggunaan alat bantu kamera sebagai bagian dalam visual method seharusnya berpijak pada etika. Artinya, apakah Anda para pekerja LSM WWF berkenan meng-expose cara Anda mencari makan, jika diberikan kamera memotret interior hidup anda? Kenapa dalil private itu hanya berlaku untuk anda? Tidak sama bukan?

Singkatnya, aktivis WWF terlalu menggampangkan persoalan ini dan hanya berpatokan pada manual project pembentukan lokasi konservasi. Jika lokasi konservasi sudah dibentuk, tentu ada aturan yang berlaku. Aturan yang dimaksud disebut merupakan hasil kajian scientific. Apakah benar bahwa supremasi scientific itu terhadap pengetahuan masyarakat

lokal itu benar?

Di titik ini, perbedaan pengetahuan antara pegawai WWF berbeda hingga persoalan ontologis dan tidak menjadi perhatian pegawai WWF maupun para ahli ikan paus itu. Ahli ikan paus hanya berpikir soal konservasi ikan paus, tetapi tidak paham bahwa dalam sejarahnya baru pertama kali ini masyarakat laut Lamalera ditaklukkan. Karena konservasi tentu akan diikuti dengan 'mandor' pengontrol, yang berarti masuknya state apparatus ke dalam masyarakat subsisten. Padahal dalam negara yang hanya menjadi lokasi pasar dan sumber bahan baku, watak aparatnya pun serupa dengan kutu busuk. Ini tidak menjadi keprihatinan, karena fokusnya lebih pada ikan paus.

Di mata Tuhan kita adalah sama, sehingga para nelayan Lamalera tidak lebih rendah daripada para aktivis WWF maupun ahli dari mana pun. Sebab jarak tempuh manusia pada sang pencipta adalah sama dari mana pun di bumi ini. Sehingga sistem kasta pengetahuan pun perlu dibuka agar tidak porno. Di mata Tuhan pemberi hidup kita sama. Tetapi tidak di mata manusia. Atas nama keyakinan pada Sang Pencipta, maka kita berhak untuk berbicara tentang hidup kita.

SUMBER : http://www.pos-kupang.com/index.php?speak=i&content=file_detail&jenis=14&idnya=24077&detailnya=1

Sunday, April 12, 2009

SITU GINTUNG ADALAH AWAL...

Sinarharapan/6 Maret 09

*"Tragedi Situ Gintung" Lain Siap Bermunculan
*JAKARTA - Tragedi Situ Gintung yang merampas sedikitnya 100 nyawa
seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pengelola kota di Jabodetabek
untuk serius membenahi persoalan lingkungan. Pesatnya pembangunan fisik
dengan mengabaikan keberadaan alam di sekitar manusia membawa petaka
luar biasa.

Jebolnya tanggul Situ Gintung di Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat
Timur, Kota Tangerang Selatan, 27 Maret 2009 lalu, membuktikan bahwa ada
yang salah dalam konteks pembangunan di kawasan tersebut. Pemerintah
daerah (pemda), termasuk juga pemerintah pusat, terbukti telah
mengabaikan persoalan situ yang notabene adalah wilayah tangkapan air
yang seharusnya dipelihara. Jangan malah sebaliknya di-korbankan untuk
kepentingan pembangunan fisik semata.

Bukan rahasia umum lagi jika di kawasan Jabodetabek keberadaan situ-situ
sangat memprihatinkan. Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta yang
didapat dari PPK Pengembangan dan Konservasi Sumber Daya Air (PKSA)
mencatat terdapat 202 situ yang berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Kenyataannya, tidak semua dari situ
yang didata Balai Besar Wilayah Ciliwung dan Cisadane itu masih baik
kondisinya dan seperti keadaannya semula.

Pengamatan Walhi Jakarta membuktikan, lima situ sudah tidak lagi
berfungsi, di antaranya Situ Jati Rangon dan Situ Rawa Lumbu di Kota
Bekasi serta Situ Penggilingan dan Situ Cipayung di Jakarta.

Setelah Walhi Jakarta menginventarisasi, ditemukan fakta bahwa dari 202
situ yang ada, 67 situ di antaranya rusak. Situ yang rusak adalah situ
mengalamai pendangkalan dengan sedimen tinggi. Indikasi lainnya adalah
situ tersebut sudah mulai ditumbuhi gulma secara tidak terkendali.
Pertumbuhan gulma, misalnya eceng gondok, menandakan situ itu tidak
mendapatkan perawatan.
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Slamet Daroyni mengatakan, 49 situ di
wilayah Jabodetabek diklaim sedang mengalami rehabilitasi. Namun dia
menilai, rehabilitasi itu tidak jelas.

Gaya hidup yang tidak ramah lingkungan membuat beberapa warga
memperlakukan situ dengan semena-mena. Tanpa belas kasihan pada alam,
warga seenaknya membuang sampah di situ. Sampah dan beberapa faktor lain
membuat situ mengalami pendangkalan. Walhi mencatat, setidaknya 27 situ
di Jabodetabek mengalami pendangkalan atau berubah fungsi menjadi sawah.

Keterbatasan lahan di wilayah metropolitan ini bahkan memaksa orang
menyulap satu situ menjadi dataran. Satu situ diswakelola oleh warga
sekitar. Tiga situ bahkan telah berubah wajah menjadi perumahan. Sebut
saja Situ Ciparigi di Bogor.
Tragis ketika Jakarta sebagai Ibu Kota, kota yang seharusnya menjadi
panutan bagi kota lain hanya memiliki 16 situ. Lebih mengerikan lagi,
dari 16 situ, hanya enam situ yang masih dalam keadaan baik.
Perubahan fungsi dan kerusakan situ di Bogor juga kian hari kian parah.
Dalam daftar inventarisasi situ-situ di Jabotabek dari Proyek
Ciliwung-Cisadane, dari 121 situ yang ada di Kota maupun Kabupaten
Bogor, hanya sekitar 17 persen situ (21 situ) yang kondisinya masih
baik. Sisanya, 83 persen (100 situ), dalam kondisi rusak. Kerusakan
membuat kemampuan menampung air berkurang hingga sekitar 60 persen.
Kondisi situ yang tidak terawat itu sangat rawan terhadap terjadinya
bencana yang bisa merenggut korban jiwa maupun harta.

Asep Yuyun, Kepala Bidang Pembangunan pada Dinas Binamarga dan Pengairan
Kabupaten Bogor, mengungkapkan kalau situ di wilayah Kabupaten Bogor
yang berjumlah 93 buah kini dalam kondisi rusak. Bahkan, belasan di
antaranya mengalami rusak parah dan rawan terhadap terjadinya bencana.

Di Tangerang, dari total 46 situ yang tersebar di wilayah kota dan
Kkbupaten, termasuk Kota Tangerang Selatan, saat ini (37 situ di
Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan serta 9 situ di Kota
Tangerang), mayoritas dalam kondisi kurang baik atau rusak.
Menurut catatan SH, dari total situ di Kabupaten Tangerang dan Kota
Tangerang Selatan dengan luas awal mencapai 1.065,05 hektare, kini yang
tersisia hanya tinggal seluas 686,7 hektare atau menyusut hingga 35,52
persen. Penyusutan terparah dialami Situ Gintung, Situ Kuru, serta Situ
Parigi di wilayah Ciputat, Pamulang, dan Pondok Aren, Kota Tangerang
Selatan.

Situ Teratai di Kecamatan Serpong Utara, Situ Krawon di Kecamatan Pasar
Kemis, dan Situ Kelapa Dua di Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang,
kini berubah fungsi menjadi perumahan dan lahan darat. Sementara itu,
situ lainnya berubah fungsi menjadi areal persawahan dan dikuasai oleh
warga setempat.
Dari sembilan situ yang ada dengan total luas awal mencapai 257 hektare,
kini yang tersisia hanya tinggal enam situ dengan luas menyusut menjadi
152 hektare. Hilangnya situ ditengarai akibat berubah fungsi menjadi
daratan yang kini dibangun jalan dan permukiman.

Kesembilan situ dimaksud di antaranya adalah Situ Cipondoh di Kecamatan
Cipondoh, Situ Gede di Kecamatan Tangerang Kota, Situ Kunciran dan Situ
Bojong di Kecamatan Pinang, serta Situ Bulakan dan Situ Cangkring di
Kecamatan Periuk. Sementara itu, tiga situ yang hilang adalah Situ
Kompeni di Kecamatan Benda, Situ Plawad di Kecamatan Cipondoh, serta
Situ Kambing di Kecamatan Ciledug.

Di Bekasi, menurut Kepala Bidang Tata Air Dinas Bina Marga dan Tata Air
Kota Bekasi Yurizal, sebagian besar situ di wilayahnya telah menjadi
milik pribadi, yayasan, dan pengembang. Dari 18 situ, hanya enam situ
yang milik negara, sedangkan di Depok, Kepala Bidang Sumber Daya Air
Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Depok Welman Naispospos
menyebutkan, terdapat enam situ yang kondisinya mirip dengan Situ
Gintung, yaitu Situ Asih Pulo di Desa Rangkapanjaya, Situ Pedongkelan di
Tugu Cimanggis, Situ Bojong Sari di Sawangan, Situ Pangerang di Cisakak,
Situ Bahar di Limo, dan Situ Sido Mukti di Cilangkap.

Kelalaian Pemerintah

Slamet Daroyni menilai Tragedi Situ Gintung sebagai turunnya kondisi
sebagian besar situ. Menurutnya, perubahan peruntukan situ-situ di
Jabodetabek adalah akibat dari kelalaian pemerintah dalam mengawasi dan
merawat situ.
Tragedi Situ Gintung yang menyebabkan sedikitnya 319 rumah rusak
diterjang air bah menurutnya disebabkan situ itu tidak mendapat
perhatian pemerintah. "Jelas ada pembiaran di sana," tegasnya.

Pembiaran tampak ketika semua pihak pemerintahan saling melempar
kesalahan. Bukan hanya Departemen Pekerjaan Umum saja, melainkan juga
Pemerintah Provinsi Banten dan Kabupaten Tangerang.

Kalalaian pemerintah juga ditangkap pakar perkotaan dari Universitas
Trisakti Nirwono Joga. Dari surveinya pada beberapa situ di Jabodetabek,
Joga mendapati beberapa situ tidak mendapat perawatan dan telah berubah
fungsi. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab
pemerintah. Ia mencontohkan Situ Ciledug, Bekasi. Di atas situ ini kini
berdiri pusat perbelanjaan besar.

Koordinator Peta Hijau Jakarta ini mengatakan, tidak sepantasnya kalau
warga tidak peduli pada situ yang ada, setidaknya pada situ yang ada di
dekat tempat tinggalnya. Tanggung jawab warga justru terdapat pada
hal-hal kecil seperti tidak membuang sampah di atas danau. Sampah,
menurut Joga, membuat situ menjadi dangkal, bahkan berpotensi menjadi
daratan. Ia juga meminta warga tidak menggusur keberadaan ruang terbuka
hijau dan menggantikannya dengan bangunan liar.
Momentum jebolnya tanggul Situ Gintung seharusnya bisa menjadi
pembelajaran bagi kedua pihak, baik pemerintah maupun warga, untuk mulai
bersahabat dengan alam. *(parluhutan gultom/periksa ginting/jonder
sihotang/deytri aritonang)*
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0904/06/jab06.html