Wednesday, May 25, 2016

Mendudukan Pemahaman Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana


"Adaptasi Perubahan Iklim (API) itu untuk masa depan. Paling tidak dilihat untuk 30, 50 atau 100 tahun ke depan. Kalau Pengurangan Risiko Benana (PRB) kan hanya melihat jangka pendek"; 
"API tidak hanya melihat sisi negatif, tapi juga sisi positif yang dapat dikelola sebagai peluang, sedangkan PRB untuk mengurangi dampak bencana". 
"Ruang lingkup API luas, sedangkan PRB lokus atau hanya pada wilayah terkena bencana". 

Ungkapan ini kerap mengemuka saat dialog terkait API dan PRB dalam satu forum dengan melibatkan para penggiat dari masing-masing isu. Argumentasi terkait perbedaan semakin mengemuka saat mulai masuk wilayah metodologi, kebijakan maupun penggiat dari kedua issue tersebut.

Ya, kita akan melihat banyak perbedaan jika kita memulai mengidentifikasi sisi perbedaan. karena keduanya berangkat dari titik awal yang berbeda. Berkembang sendiri-sendiri dengan penggiat yang berbeda -  dari tingkat lokal sampai internasional. IPCC mewakili para ahli bidang perubahan iklim dengan gerbong sediri. UNISDR mewakili golongan manajemen risiko bencana. Sama-sama dibawah naungan UN atau perserikatan bangsa-bangsa. Dengan tujuan - bagaimana risiko dapat diminimalisasi sehingga kehidupan mahluk hidup terlindungi dan terselamatkan.

Upaya integrasi dua issue telah dimulai cukup lama. WALHI, sebagai sebuah organisasi lingkungan hidup terbesar di Indonesia telah menggaungkan intergrasi perubahan iklim dan manajemen bencana sejak tahun 1996. Sebagai organisasi lingkungan, WALHI melihat dampak kerusakan lingkungan berkontribusi besar terhadap kejadian bencana. Dan trend dampak perubahan iklim cenderung memperburuk faktor-faktor pemicu risiko bencana. Tahun 1997, saat fenomena elnino membungkus wilayah Indonesia -  WALHI mengingatkan kepada pemerintah atas risiko bencana yang mungkin terjadi; dari mulai kebarakan hutan dan lahan, krisis air bersih maupun krisis pangan yang akan memiliki dampak sampingan; kesehatan, malnutrisi sampai konflik yan dipicu oleh perebutan akses terhadap sumberdaya. Dan 1997/1998 kita tahu -  Indonesia mengalami bencana yang juga dirasakan oleh negara-nagara tetangga. Kebakaran hutan dan lahan yang cukup parah. tidak hanya itu, beberapa wilayah juga mengalami krisis air bersih yang hebat dan gagal panen.

Thursday, May 12, 2016

FUNGSI LINGKUNGAN DALAM KAJIAN RISIKO BENCANA



Pengkajian Risiko Bencana (KRB) diposisikan sangat penting dalam manajemen risiko bencana atau disaster risk manajement (DRM). Dengan memahami risiko bencana, berbagai upaya yang dilakukan dalam kontek mengurangi risiko menjadi tepat sasaran dan berdasarkan skala prioritas yang ada. Fungsi KRB juga diidentikan dengan ciri dari paradigma pengurangan risiko bencana (PRB).


R = H*V/C menjadi rumusan populer dalam metode KRB. Rumusan yang menggambarkan pola hubungan antar variabel dalam membentuk risiko. Bukan semata-mata rumusan matematis. sekalipun saat ini, selain kajian risiko partisipatif (komunitas) -  pendekatan matematis lebih mendominasi dalam menentukan kelas, untuk menentukan hazard, kerentanan maupun risiko. 

Terlepas perdebatan aktualisasi rumusan dalam KRB, hal menarik untuk dicermati dalam menempatkan lingkungan sebagai bagian bagian dari komponen kerentanan. Menjadi menarik karena penempatan lingkungan sebagai bagian yang menentukan kerentanan maupun risiko bencana memiliki fungsi lain, selain sebagai bagian yang terpapar. Fungsi ekologis misalnya -  lingkungan mampu meredam besaran ancaman. Baik melalui proses alamiah maupun pada saat terjadinya tragedi atau kejadian ancaman. Kasus tsunami Aceh yang menjadi bencana internasional misalnya -  membuktikan kehadiran tanaman mangrove mampu meredam energi tsunami sehingga kerusakan menjadi lebih minimalis dibandingkan wilayah terbuka. Kasus-kasus banjir, banjir bandang, angin puting peliung atau angin kencang atau kekeringan juga membuktikan fungsi ekologis menentukan besaran bencana yang terjadi.

Pada dasarnya, tidak hanya pada aspek lingkungan, pada aspek lain pun menunjukan dua sisi dari masing-masing komponen maupun indikator yang digunakan dalam menentukan kelas kerentanan. Seperti pada aspek sosial -  dimana populasi menjadi salah satu indikator. Jumlah populasi yang besar (padat) pada wilayah terpapar tidak serta merta menunjukan tingkat kerentanan tinggi. Jika populasi tersebut memiliki pengetahuan maupun skill atau sumberdaya lain dalam menghadapi ancaman -  maka besaran populasi dapat menunjukan ketidak rentanan. Demikian juga pada aspek ekonomi -  dimana penduduk pada wilayah terpapar memiliki alternatif mata pencaharian atau mata pencaharian yang adaptif dengan ancaman yang ada, memiliki tabungan, asuransi, memiliki akses terhadap lembaga keuangan dll -  maka ekonomi yang terpapar ancaman tidak serta merta menurukan tingkat kerentanan.