Friday, June 10, 2011

DESIGN TATA RUANG RELOKASI

Angga, bocah kecil yang masih duduk di kelas 5 SD begitu bersemangat menorehkan pinsil pada buku gambarnya. Ada gambar rumah, bangunan, jalan, jajaran tanaman yang menyimbolkan pertanian, hutan dll. tak bergeming di tempatnya di meja makan bambu tua hasil karya sang ayah, 10 tahun yang lalu. telah cukup banyak gambar telah dibuatnya. Namun, tidak membuatnya puas. sehingga harus mengulang dan mengulang lagi. Tak menarik hatinya, sepiring nasi goreng sebagai makanan favoritenya tak jauh dari hadapannya. Juga segelas susu sapi segara hasil perahan pagi buta sang ibu yang dihangatkan sang kaka.

Sang bocah masih merekam dengan jelas, saat ada orang kota datang ke desa. berdiskusi dengan para orang dewasa tentang bagaimana pentingnya membuat gambar kampung sediri secara lengkap dan teratur. Dengan adanya gambar yang jelas, semua orang akan mengerti, dimana letak rumah, bangker, post ronda maupun bangunan lainnya. juga kebun, hutan atau sungai. sang bocah kecil yang saat itu diajak oleh sang ayah mengikuti sebuah pertemuan "pemetaan partisipatif" untuk pengurangan risiko bencana samar2 menyimak. tidak begitu jelas, untuk apa harus dilakukan. yang jelas, Angga suka dengan media gambar yang digunakan sang orang kota.

Saat itu, angga kecil bisa membayangkan, kemana harus lari jika awan panas Merapi datang. Kenapa harus menggunakan jalan tersebut karena arah awan panas datang dari arah mana. Dimana tempat yang aman sekaligus sebagai tempat untuk bertemua para penduduk yang mungkin akan tercerai berai karena panik.

-----------------oooooOoooooo----------------

Imajinasi Angga trus menerabas melebihi batas kemampuannya. Obrolan seru para orang dewasa tentang "harus" pindahnya seluruh penduduk desa sangat menyita pikirannya. "Pindah kemana?". Angga kecil tidak dapat membayangkan dia dan keluarganya serta temen2nya harus meninggalkan kampung halamannya. Kampung yang sejuk, tenang dan damai. Hanya terkadang mencekam menjelang sang Merapi menunjukan kekuatannya. Memamerkankan perangainya, kalau dibalik kebaikan dan keramahannya - juga memiliki sifat "bahaya".

Bayangan Angga tertuju pada sebuah Mall di kawasan Malioboro. Sebuah tempat yang amat menarik hatinya. Semua barang indah dan menarik hati terpampang disana. dari mulai pakaian, sepatu, makanan, sampai mainan beraneka ragam. Sungguh menyenangkan kalau dia dan keluarganya pindah dan memiliki rumah di sekitar Mall tersebut. pikiran kecilnya menari2 pada tempat tersebut. Dia juga masih ingat, bagaimana sepanjang jalan tersebut sangat ramai. Bahkan banyak "bule" yang berlalu lalang. Akhhhh.. indah sekali rasanya.

Dengan cepat, Angga pun membuka lembaran baru kertas gambarnya. Tapi, dia sedikit kecewa. Kertas gambarnya hanya tersisa satu lembar saja. sedikit ragu untuk memulainya. Mall, akan ditaro dimana lokasi tersebut pada jajaran rumah2 penduduk yang digambarkan mewakili rumah2 kawan2 mainnya. apakah Mall tersebut ditempatkan di dekat rumahnya. Kalau iya, berarti akan menggeser rumah Anto, Andi dan Ijong. Kasian mereka tidak mempunyai rumah. atau sedikit agak jauh? mengganti kebun atau sawah. tidak, nanti kita tidak bisa lagi berkebun dan tidak dapat "uang". ahhaaaaaaa..... kenapa gak mengganti hutan saja? Tidak ada yang protes kalau menggunakan hutan. Toh, rumah dan kebun-kebun penduduk yang akan ditinggalkannya juga akan dijadikan hutan. jadi, apa salahnya???????

Angga pun mulai menorehkan pinsilnya. kembali dia menggambar dengan semangat; satu demi satu; rumah, sekolah, puskesmas, jalan, bangker, kebun, dan pasar serta MALL tentunya, menggantikan HUTAN.

-----------------oooooOoooooo----------------

Apa yang dipikirkan dan dituangkan dalam gambar oleh Angga adalah sebuah gambaran kongkrit, bagaimana seorang bocah menangkap dan mengaktualisasikan sebuah tata ruang. Gambaran didasarkan atas sebuah realitas yang dia lihat sehari-hari serta seberapa besar informasi yang di dapat.

Memindahkan penduduk secara massal dari satu tempat ke tempat lain bukan hal sederhana. Bukan hanya sekedar memindahkan manusia saja, apapun alasannya. Termasuk dalam rangka/upaya preventif sebagai bagian dari penanggulangan bencana. Tapi akan memindahkan kehidupan secara utuh. Untuk itulah, relokasi adalah pilihan terakhir, jika masih ada alternatif lain; baik mitigasi maupun membangun kesiapsiagaan. Apalagi jika bahaya tidak datang setiap hari, setiap bulan atau setiap tahun.

Jika komunitas dan pemerintah daerah dapat meminimalisasi risiko bencana yang ada, baik melalui peningkatan kapasitas, peningkatan kemampuan atau upaya sistematis lainnya... tidak memilih relokasi adalah lebih baik.

Apalagi jika wilayah relokasi yang disusun tidak lebih baik dari yang dibuat oleh Angga, sang bocah kecil yang baru kelas 5 SD. yang dengan mudah mengalihkan fungsikan sesuatu dengan pikirannya sendiri. didasarkan atas keterbatasan informasi dan pengetahuan maupun pengalamannya.







Degradasi lingkungan dan perubahan iklim dampaknya terhadap kawasan rawan bencana

Fajri melempar tatapan kosong pada hamparan pekat lautan dari beranda rumah teramat sederhana. Sekosong harapannya untuk mendapatkan rizkinya hari itu. Sudah seminggu perahu kecilnya terpakir di daratan bersama jaring yang teronggok. Cuaca buruk telah menjegal retinitas dia melaut dan mencari ikan. Jangankan melaut untuk mendapatkan ikan, berdiri tegak di pinggir pantai pun rasanya tak sanggup.

Pengantar

Nasib Fajri tidak lah hanya dirasakan sendiri. Ada ratusan, ribuan atau bahkan ratusan jutaan nelayan mengalami hal yang sama. Terjebak hidup dalam ketidak menentuan iklim. Tidak hanya nelayan, jutaan petani pun mengalami dengan bentuk yang berbeda. Ancaman tidak lagi gagal panen, tapi juga gagal tanam.

Perubahan iklim akibat dari pemanasan global bukan lagi sekedar wacana. Tapi telah betul terjadi dan berdampak memberburuk kualitas hidup dan kehidupan di bumi. Perubahan iklim yang sebelumnya fenomena alam, di picu dan dipercepat prosesnya akibat berbagai bentuk aktifas manusia.

Dan sudah dapat dipastikan, kondisi ini berujung pada meningkat dan meluasnya berbagai kejadian berpotensi dan menjadi bencana. banjir, longsor, angin ribut/badai, wabah, sampai konflik sosial dan satwa.

Pada kasus kejadian bencana di Mentawai dan Wasior, cuaca buruk pun secaranya nyata memperburuk kondisi penyintas. penanganan bencana yang seharusnya cepat dan tepat, tidak dapat dilakukan karena terhalang alam yang tidak bersahabat.

Bill McGuire, ahli geologi dari Hazard Research Center di University College London, menuturkan bahwa gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan tanah longsor, adalah kejadian yang mempunyai hubungan dengan perubahan iklim. Paling tidak ada dua penyebab atau hubungan kejadian-kejadian tersebut dengan perubahan iklim. Pertama, gangguan keseimbangan kerak Bumi. Lapisan es di kutub yang memiliki berat menekan kerak Bumi yang berada di bawahnya. Karena es mencair, kerak di bawahnya berusaha mencari keseimbangan baru. Pergeseran keseimbangan ini dapat memicu aktivitas magma di dalam kerak Bumi maupun aktivitas gempa bumi. “Pada akhir Zaman Es, tercatat adanya peningkatan besar-besaran aktivitas seismik bersamaan dengan penyusutan lapisan es di Skandinavia maupun tempat-tempat lain seperti itu dan memicu tanah longsor di bahwa laut yang pada akhirnya memicu tsunami,”. Penyebab kedua, tekanan air laut. Suhu laut yang bertambah panas mengakibatkan air laut memuai. “Memuainya air laut ditambah es yang mencair ke dalam laut menekan kerak Bumi di bawahnya. Hal ini dapat menekan magma apapun yang ada di sekitarnya keluar dari gunung berapi sehingga memicu letusan.

Mekanisme ini dipercaya menjadi penyebab letusan periodik Gunung Pavlof di Alaska yang meletus setiap musim dingin ketika permukaan air laut lebih tinggi. McGuire sendiri melakukan penelitian yang dimuat pada jurnal Naturepada tahun 1997 mengenai kaitan antara naiknya permukaan air laut dengan aktivitas letusan gunung berapi di Mediterania selama 80.000 tahun terakhir, dan menemukan bahwa ketika air laut naik secara tiba-tiba, makin banyak letusan gunung berapi yang terjadi, dengan peningkatan drastis sebesar 300%!

Penelitian McGuire ini memperkuat hasil penelitian Dr. Thomas J. Chalko, M.Sc., Ph.D, kepala bagian geofisika dari Scientific E Research P/L, Melbourne, Australia, yang mengemukakan bahwa pemanasan global menyebabkan ketidakseimbangan termal interior Bumi. Akibatnya, gunung-gunung berapi menjadi aktif dan meletus lebih kuat. Aktivitas gempa bumi di seluruh dunia sekarang lima kali lebih banyak daripada 20 tahun yang lalu. Penelitian membuktikan sifat merusak gempa bumi meningkat dengan pesat dan beliau menyatakan bahwa tren ini akan terus berlanjut, kecuali masalah pemanasan global diatasi secara menyeluruh.

Dampak perubahan Iklim Global

Perubahan iklim terjadi secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup panjang, antara 50-100 tahun. Meskipun perlahan, dampaknya sebagaian besar permukaan bumi menjadi panas. Data-data dari IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) menggambarkan kondisi perubahan iklim yang terjadi saat ini;

· Telah terjadi kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,76 derajat Celcius antara periode 1850 – 2005.

· 11 dari 12 tahun terakhir (1995-2006) merupakan tahun-tahun dengan rata-rata suhu terpanas sejak dilakukan pengukuran suhu pertama kali pada tahun 1850.

· Telah terjadi kenaikan permukaan air laut global rata-rata sebesar 1,8mm per tahun antara periode 1961 – 2003.

· Telah terjadi kekeringan yang lebih intensif pada wilayah yang lebih luas sejak tahun 1970an, terutama di daerah tropis dan sub-tropis.

Terkait hal tersebut, perubahan iklim mengakibatkan dampak yang sangat dirasakan oleh manusia, antara lain;

Peningkatan Permukaan Air Laut

Naiknya suhu bumi dapat mencairkan es di daerah kutub. IPCC menyebutkan, dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan air laut setinggi 10-25 cm. Sementara Greenpeace berdasarkan laporannya memperkirakan tahun 2100 mendatang akan terjadi peningkatan air laut setinggi 19-95 cm.

Peningkatan air laut setinggi 1 meter saja akan mengakibatkan hilangnya pulau atau daratan di dunia. Dengan kenaikan tersebut, diperkirakan daratan Mesir akan berkurang 1%, Belanda 6%, Bangladesh 17,5% dan 80% atol di kepulauan Marshall akan hilang tenggelam.

Selain itu, pulau-pulau di, Fiji, Samoa, Vanutu, Jepang, Filipina, serta Indonesia akan banyak yang hilang tertutup permukaan laut. Hal ini berarti, puluhan juta orang yang hidup di pesisir pantai harus mengungsi dan mencari tempat yang lebih aman sebagai tempat tinggal ke daerah yang lebih tinggi.

Naiknya permukaan air laut akan mengakibatkan kurangnya daya tahan pesisir pantai sehingga rentan tehadap erosi/abrasi. Hal ini juga mengakibatkan rusaknya berbagai infrastruktur dan pemukiman di tepi pantai. Fenomena ini bisa juga dapat menimbulkan pengungsian.

Perubahan iklim juga mengakibatkan terjadinya pergeseran musim karena terjadi perubahan tekanan dan suhu udara. Implikasinya musim kemarau akan berlangsung lama sehingga dan menimbulkan bencana kekeringan dan penggurunan. Negara-negara yang diperkirakan akan mengalami kekeringan adalah Afrika, Eropa, Amerika Utara dan Australia. Sementara di sisi lain, musim hujan akan berlangsung dalam waktu yang singkat dengan intensitas curah hujan lebih tinggi sehingga menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor.

Krisis Kemanusiaan yang berujung bencana

Karena kurangnya persediaan bahan pangan akibat tingginya potensi gagal panen bahkan gagal tanam akibat cuaca dan iklim yang tidak menentu menyebabkan penurunan produktivitas pertanian/pangan. Produktivitas pertanian di daerah tropis akan menurun jika suhu rata-rata global meningkat 1-2 derajat Celsius. Di sisi lain, mencairnya es di kutub akan menimbulkan pemuaian massa air laut dan kenaikan air laut, sehingga hal ini akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang. Adapun dampak akumulatif dari keadaan ini adalah meluasnya bencana kelaparan dan meluasnya gizi buruk.

Krisis Air Bersih

Krisis air ini disebabkan oleh masa kekeringan sejak musim kemarau berkepanjangan. Kondisi tersebut, disebabkan pergantian musim yang tidak stabil, sehingga daerah yang jarang air terancam mengalami krisis air. Sumber kebutuhan air tawar sepertiga penduduk dunia kering pada tahun 2100. Dan pada pertengahan abad ini, daerah subtropis dan tropis yang kering akan mengalami kekurangan air sebanyak 10-30 persen sehingga terancam bencana kekeringan.

Meluasnya Berbagai Penyakit yang Mengancam Spesies Manusia

Hal ini disebabkan oleh naiknya suhu udara yang menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek. Dampaknya, penyakit yg ditularkan nyamuk akan berkembang biak dengan lebih cepat. Penyebaran penyakit ini khususnya di daerah Tropis, seperti demam berdarah, diare, malaria dan leptospirosis karena bertambahnya populasi vektor penyakit. Gelombang panas yang melanda Eropa tahun 2005 meningkatkan angka "heat stroke" (serangan panas kuat) yang mematikan, infeksi salmonela, dan "hay fever" (demam akibat alergi rumput kering).

Hilangnya Berbagai Jenis Keaneragaman Hayati.

Perubahan suhu bumi yang tidak menentu mengakibatkan hilangnya spesies flora dan fauna karena tidak dapat beradaptasi, dan sekitar 20-30 persen spesies tanaman dan hewan akan punah bila suhu rata-rata global naik 1,5-2,5 derajat Celsius. Selain itu, naiknya suhu air akan meningkatkan keasaman laut. Bertambahnya Karbon dioksida di atmosfer diperkirakan membawa dampak negatif pada organisme laut seperti terumbu karang (cloral bleaching) dan punahnya spesies lain yang bergantung pada organisme tersebut. Sehingga diperkirakan sekitar 80% spesies tanaman dan binatang akan punah dalam satu abad mendatang.
Peningkatan suhu pada kemarau mengakibatkan mudah terbakarnya ranting atau daun akibat gesekan sehingga meningkatkan peluang kebakaran hutan.

Kerugian Materi dan Non-Materi.

Pemanasan global yang menimbulkan bencana akibat topan, banjir dan badai, kira-kira 150.000 jiwa tewas setiap tahunnya. Tahun 2003, gelombang udara panas di Eropa menelan 25.482 jiwa dalam 20 tahun mendatang (sumber data WHO, UNEP, dan World Meteorology Council). Selain itu, di tahun 2080 diperkirakan akan ada jutaan orang terkena banjir setiap tahun akibat naiknya permukaan air laut. Risiko terbesar terjadi di dataran rendah padat penduduk, khususnya delta-delta Asia dan Afrika serta pulau-pulau kecil. Sedangkan perkiraan kerugian materi dari perubahan iklim mencapi USD 11 Miliyar atau sekitar 110 triliyun pertahunnya.

Mencairnya es di Kutub.

Perubahan iklim yang disebabkan naiknya suhu permukaan bumi dapat menyebabkan mencairnya es dan gletser di seluruh dunia, terutama di kutub Utara dan di kutub Selatan. Sejak tahun 1960an, es di kutub dunia telah berkurang 10%, sementara ketebalan es di kutub Utara telah berkurang 42% dalam 40 tahun terakhir (Prench, 2001). Data lain menyebutkan hilangnya 10-20% gletser di pegunungan Alpen juga menandai akibat pemanasan global ini. Dampak dari mencairnya kutub Utara dan kutub Selatan akan mengakibatkan pemuaian massa air laut dan kenaikan air laut. (Fitrihari)

Rupublik Indonesia Bencana

Paska kejadian tsunami di penghujung tahun 2004 yang melanda serambi mekah, Aceh, seolah masyarakat Indonesia disadarkan dari tidur panjangnya atas sebuah kenyataan. Selain sebagai zamrud katulistiwa karena keindahannya alam, gemah ripah loh jinawi karena kesuburannya serta segudang julukan lain Indonesia yang indah-indah, ada ancaman yang mematikan.

Kenyataan atas tingginya ancaman bencana di Negari ini telah dipertontonkan jauh sebelumnya. Berbagai peristiwa luar biasa dan menjadi catatan sejarah dunia dalam bidang kebencanaan terjadi di Indonesia. Letusan gunung tambora di NTB, Krakatau di selat sunda, merapi di perbatasan jawa Tengah – DI Yogyakarta, atau bahkan gunungapi purba di Sumatera Utara – Gunung Toba, dimana kaldera bekas letusannya telah membentuk danau yang teramat luas - Danau Toba.

Letusan Gunung Tambora pada tahun…. telah menyebabkan dataran eropa tidak mendapatkan musim panas selama dua masa. Demikian juga dengan letusan gunung Merapi tahun 18…. Yang menutup sampai menutup dan mengganggu sinar matahari yang seharusnya menghangatkan dataran eropa pada musim semi.

Menjadi naïf tentunya, berbagai kejadian yang maha dahsyat tersebut tidak ditempatkan sebagai landasan dalam membangun masyarakat Indonesia yang tangguh menghadapi berbagai ancaman bencana yang ada.

Bencana diartikan sebagai : A serious disruption of the functioning of a community or a society causing widespread human, material, economic or environmental losses which exceed the ability of the affected community or society to cope using its own resources – UN ISDR

Secara terjemahan bebas, dapat diterjemahkan; suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu [masyarakat] sehingga menyebabkan [kerugian] yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan [masyarakat] tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri.

Pengertian yang dikeluarkan oleh Sekretariat Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana Perserikatan Bangsa‐Bangsa /United Nation - International Strategy for Disaster Reduction (UN ISDR), menggeser pemaksanaan bencana. Dari penekanan makna bencana sebelumnya yang bertumpu pada ”sebab musabab” suatu kejadian menjadi suatu pandangan yang menekankan pada ”dampak” kejadian, khususnya pada manusia. Pemahaman ini selanjutnya menjadi definisi standar tentang bencana yang dimutakhirkan pada tanggal 31 Maret 2004.

Definisi standar internasional ini tidak lagi mempersoalkan perbedaan bencana alam, bencana, sosial atau bencana teknologi. Selama suatu kejadian atau kondisi telah menimbulkan dampak seperti yang didefinisikan, maka kejadian atau kondisi tersebut disebut sebagai bencana.

Dari pemahaman tersebut, sebuah kejadian dapat dikatakan bencana jika memenuhi tiga criteria; 1) menyebabkan ketergangguan serius pada sistem kehidupan di masyarakat atau komunitas, 2) menyebabkan kerugian; jiwa, harta benda/material, infrastruktur dan lingkungan serta 3) masyarakat atau komunitas yang terkena dampak tidak mempunyai kemampuan mengatasi kejadian dan dampak tersebut dengan sumberdaya yang mereka miliki sendiri.

Merujuk kejadian atau kondisi di Indonesia, apa yang menjadi ketetapan di tingkat internasional menjadi sangat relevan. Relevan karena kondisi ancaman bencana di Indonesia sangat tinggi dengan berbagai jenis bahaya yang beragam (multi hazard) dengan kerentanan yang masih tinggi. WALHI menyebutkan, tingkat kerewanan wilayah-wilayah di Indonesia mencapai angka lebih dari 80% dengan angka kerentanan bencana dengan multi hazard mencapai lebih dari 90 %. Artinya, lebih dari 200 juta jiwa penduduk Indonesia tidak siap menghadapi berbagai ancaman yang berpotensi bencana yang ada.

Sehingga menjadi wajar, pada setiap kejadian bencana memunculkan korban jiwa, harta maupun infrastruktur yang sangat besar. Gempa Jogjakarta (2007) misalnya, lebih dari 5.000 meninggal dunia dengan total rumah hancur, rusak berat maupun ringan mencapai ….. gempa di sumatera barat (2009) dan Aceh – Nias (2004) korban meninggal mencapai 200 ribu orang, baik yang teridentifkasi maupun yang hilang.

Sumberdaya dan Ancaman adalah dua sisi mata uang

Besarnya sumberdaya yang dimiliki sebuah kawasan umumnya diikuti dengan tingkat ancaman/bahaya. Kondisi ini menempatkan sebagai tantangan yang harus dipecahkan oleh manusia dalam memanfaatkan SDA yang ada. Kesalahan dalam pengelolaan atau pemanfaatan, tidak hanya akan meningkatkan tingkat ancaman/bahaya, bahkan bisa memunculkan jenis ancaman baru bagi wilayah tersebut.

Bencana akibat pengeboran PT Lapindo berupa lumpur panas (mud volcano) merupakan salah satu contoh kongkrit, bagaimana proses pemanfaatan SDA yang tidak berdasarkan analisis risiko bencana menjadi sebuah petaka besar. Demikian juga dengan kasus pencemaran teluk buyat akibat pembuangan tailing ke laut oleh PT Newmont. Atau banjir bandang di papua akibat jebolnya tanggul penampung lumpur limbah PT Freeport.

Pada kasus yang lebih luas, terjadi diberbagai wilayah di Indonesia. Banjir, longsor dan banjir bandang menjadi lebih sering terjadi dengan intensitas yang lebih sering, lebih luas atau lebih lama. Kalimantan Timur misalnya, saat ini menjadi wilayah banjir sejak wilayah tersebut di eksploitasi habis-habisan; pertambangan, HPH maupun perkebunan skala besar. Demikian juga dengan beberapa wilayah di Aceh yang saat ini menjadi wilayah baru yang rentan banjir bandang dan longsor akibat praktek illegal logging yang tak tertangani.

Berbagai aktifitas manusia, baik yang memunculkan ancaman atau bencana baru maupun yang meningkatkan tingkat risiko menjadi lebih komplek atau terdorong lebih besar dengan terjadinya perubahan iklim. Apalagi jika kita merujuk dari hasil penelitian Bill Mc Guere yang juga didukung oleh Dr. Thomas J Chalco; bahwa perubahan iklim berpengaruh erat terhadap kejadian erupsi gunungapi, gempa maupun tsunami.

Bagi Indonesia sebagai Negara kepulauan dan wilayah tropis, serta menjadi bagian dari jalur cicin api pasifik (pacific ring of fire) serta diantara tiga lempeng aktif bumi, kondisi ini menjadi sebuah kenyataan. Bahwa negeri ini semakin besar tingkat risikonya akibat perubahan iklim.

Kondisi ini harus menjadi peringatan sekaligus dasar utama bagi Indonesia dalam upaya mengurangi risiko bencana. Mengurangi risiko bencana, tidak hanya menyiapkan penduduknya siap dan lebih tangguh menghadapi ancaman bencana, tapi juga terkait erat kebijakan, bidang atau sektor, termasuk penataan ruang maupun pola atau arah pembangunannya.

Menjadi penting, mandat UU No 24/2007 tentang analisis risiko maupun pasal yang memandatkan untuk penyelarasan kebijakan-kebijakan yang ada segera dapat dioperasionalkan secara benar dan konsekwen.

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim dan PRB

Telah terkonsentrasinya gas rumah kaca (GRK) di atmosfir akibat berbagai kegiatan manusia dan proses alamiah telah menjadi ancaman besar bagi kehidupan di bumi. Untuk itu, protocol Kyoto memandatkan kepada seluruh pemimpin dunia untuk bersama-sama mengurangi produksi sekaligus mengurangi GRK yang telepas di udara.

Mitigasi adalah gerakan yang didorong untuk meredam atau mengurangi GRK dengan berbagai kegiatan. Salah satunya adalah melalui pohon. Secara teoritik, pepohonan mampu mengikat berbagai buangan sebagai biang keladi dari pemanasan global. Selain memberi batasan bagi Negara-negara dalam produksi GRK dari berbagai aktifas produksinya.

Sekalipun keputusan tersebut tidak serta merta diikuti oleh Negara-negera penghasil emisi terbesar dunia, sebagai gerakan penyelamatan bumi dari percepatan kiamat sebuah trobosan dan sukses besar. Tidak banyak gerakan yang melibatkan pimpinan Negara yang dapat bertahan, apalagi dalam rangka penyelamatan lingkungan. Sekalipun proses perjalanannya menghadapi berbagai kendala yang besar.

Tantangan terbesar proses mitigasi yang didorong saat ini adalah memaksa Negara-negara penghasil emisi terbesar khususnya seperti Amerika, Australia, Cina dan India untuk mengikuti kesepakatan Kyoto. Selain itu, komitmen dan dukungan Negara-negara maju kepada berkembang dan miskin sebagai bagian dari skema mitigasi melalui pengelolaan hutan perlu didorong untuk tidak menyalahi atau melanggar prinsip-prinsip HAM. Juga mencegah para pebisnis terlibat dan mengambil untung dari skema penyelamatan bumi.

Penyelamatan hutan bukan hanya sekedar mereduksi emisi yang dikeluarkan Negara industri. Tapi penyelematan hutan memang merupakan kebutuhan secara global, penyelamatan kragaman hayati, pengurangan risiko bencana, termasuk memastikan masyarakat pinggiran hutan tidak lagi termarginalkan, miskin akses maupun tidak terpenuhi hak-hak politik maupun ekonomi, sosial dan budaya sebagai hak dasar manusia.

Dampak perubahan iklim yang telah menjadi ancaman, tentu tidak hanya cukup dengan upaya mitigasi. Meningkatnya badai, cuaca ekstrem, wabah dll membutuhkan intervensi dalam upaya penyesuaian atau adaptasi. Hukum alam akan berjalan, siapa yang tidak mampu beradaptasi atas suatu perubahan lingkungan, maka dia akan mati atau punah.

Fajri adalah salah satunya, yang tidak mampu berbuat menghadapi dampak perubahan iklim. Tidak hanya fajri tentunya, masih ada puluhan juta warga Indonesia yang menghadapi dilemma menghadapi perubahan iklim. Juga warga-warga masyarakat yang dalam perjalanan hidupnya tidak pernah mendapatkan cerita, wilayahnya saat ini menjadi sangat terancam banjir bandang, banjir, angin ribut atau wabah.

Sebuah informasi yang perlu tertancam dalam memori kita, PBB menyebutkan bahwa mencairnya lapisan es merupakan “kartu liar” yang secara dramatis bisa memperparah pemanasan global dengan melepaskan gas rumah kaca secara besar-besaran. Dalam laporan UNEP Year Book 2008, disebutkan bahwa, “…Kita mungkin akan mencapai ambang batas yang sulit untuk diprediksikan secara tepat, tetapi melewati ambang batas itu bisa membawa akibat serius secara global. Metana yang terlepas secara besar-besaran ke dalam atmosfer, yang berasal dari lapisan es yang mencair dan endapan methana hidrat di laut, akan membawa perubahan tak terduga dalam pola iklim yang mungkin tidak dapat diubah. Kita tidak boleh melewati ambang batas ini. Pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia harus diatasi untuk membantu kita menghindari akibat semacam ini sepenuhnya.”

Wednesday, June 01, 2011

Konsep Paper DRR Kab. Bener Meriah

Gunung Burni Telong di Kabupaten Bener Meriah begitu anggun terlihat pada pagi hari. Namun, kadang terlihat gagah atau bahkan angkuh dengan hiasan mahkota asap asap tipisnya. Gunungapi aktif tersebut berjarak kurang dari 10 Km dari pusat kota kabupaten. dapat dibayangkan, bagaimana jika gunung tersebut berulah bak sang Merapi dipenghujung tahun 2010?

Kabupaten pecahan dari Aceh Tengah ini juga memiliki sederet wilayah rawan; longsor, angin puting beliung dan kebakaran. sekalin konflik sosial yang telah dialami wilayah ini hampir 30 tahun.

Spirit Kabupaten untuk menjadikan Kabupaten ini sebagai kota organik, mandiri dari sisi energy serta dapat hidup dari sumberdaya yang mereka miliki sendiri, patut mendapatkan apresiasi besar. sebuah mimpi luhur disaat banyak kabuptan kota yang masih merengek mendapatkan pendanaan dari pusat.

pembangunan yang digenjot di wilayah hulu seperti Kab. Bener Meriah, jika tidak dilakukan secara hati2, tidak hanya akan mengorbankan lingkungan dan penduduk tempatan, tapi juga akan berdampak besar bagi wilayah bawahannya.

konsep paper ini disusun bersamaan dengan penyusunan konsep strategis di kota sabang pada tahun 2009. dengan dukungan dari Samdhana Institute, bekerja bersama dinas sosial, TAGANA Kab. Bener Meriah dan Pemda Kabupaten Bener Meriah, konsep paper ini dapat tersusun. sebuah harapan besar, konsep ini akan menjadi dasar atau pertimbangan bagi Kab. Bener Meriah dalam penyusunan perencanaan pembangunannya. dengan menempatkan PRB sebagai arus utama.

Untuk men-download konsep paper ini, dapat click link dibawah ini