Thursday, April 29, 2010

AVATAR, PAPUA dan SBY

Kamis, 29 April 2010 | 03:09 WIB
Hingga April tahun ini, Presiden SBY sudah menerima sedikitnya lima penghargaan internasional. Paling akhir, sehari setelah peringatan Hari Bumi, 23 April, diserahkan oleh James Cameron—sutradara film Avatar—di Los Angeles. Avatar Home Tree Award diberikan kepada SBY karena program penanaman 1 miliar pohon yang dicanangkannya. Padahal, sepanjang lima tahun terakhir kepemimpinan SBY, lebih dari 10 miliar pohon hutan alam musnah. Sungguh, SBY tak layak mendapat penghargaan ini.

Film Avatar bercerita perjuangan suku Na’vi—penghuni planet Pandora—yang tanah keramatnya dikeruk perusahaan tambang, dibantu pasukan militernya yang brutal. Untuk mendapatkan unobtainium—logam paling mahal saat itu—perusahaan bersedia melakukan apa pun, termasuk mengebom pohon raksasa tempat tinggal para Na’vi. Film ini laris manis sejak diputar, bahkan mendapat penghargaan film terbaik Golden Globe, juga mendapat satu piala Oscar tahun ini.

Pandora dan Papua

Dua kali menonton Avatar membuat saya teringat suku Amungme di Papua Barat, yang puluhan tahun tanah keramatnya dikeruk oleh PT Freeport. Ersberg, salah satu gunung keramat mereka, kini berubah menjadi lubang raksasa dengan kedalaman ratusan meter. Gunug Grasberg, tetangganya, segera menyusul. Sungai-sungai di kawasan bawah juga dicemari. Lebih dari 1,2 miliar ton limbah tailing PT Freeport telah dibuang ke lingkungan sekitar, terus bertambah sedikitnya 200.000 ton tiap hari.

Sayang di Papua Barat tak ada JackSully—sang Avatar—pemimpin penyelamat Pandora. Bahkan, hingga lima kali Indonesia ganti presiden, para pemimpin negara ini tak mampu melindungi suku-suku penghuni pegunungan tengah Papua dari ”kejahatan” PT Freeport. Para pemimpin Papua juga rontok satu per satu. Jika saat ini mereka meninggal karena kekerasan dan konflik bersenjata. Ke depan, serbuan pendatang dan serangan penyakit mematikan HIV AIDS bisa menjadi ”mesin” pembunuh yang ampuh di sana.

Di bawah kepemimpinan SBY, pembangunan di Papua justru mengancam keselamatan warganya. Itulah yang membuat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak didatangkannya pelapor khusus PBB guna mengetahui situasi HAM dan hak atas pangan ke Papua Barat. Hal itu disampaikan AMAN di depan sidang forum permanen PBB untuk isu-isu masyarakat adat di New York, bertepatan dengan penghargaan yang diterima SBY. AMAN mengkhawatirkan rencana proyek industri pangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yang berpotensi melahirkan genosida struktural dan sistematis.

Proyek industri pangan berorientasi ekspor ini akan dilakukan pada 1,6 juta ha kawasan dataran rendah, hutan, dan rawa. Kabarnya proyek ini membutuhkan 6,4 juta tenaga kerja, yang sebagian besar akan didatangkan dari luar pulau. Padahal, populasi rakyat Papua saat ini hanya 4,6 juta jiwa, kurang dari separuhnya adalah penduduk asli yang 70 persennya tinggal di kawasan terpencil. AMAN khawatir rencana proyek akan membuat penduduk asli Papua menjadi minoritas dan terus menyusut populasinya.

Penghargaan Avatar

Jika saja James Cameron bertemu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pasti ia akan berpikir seribu kali sebelum memberi SBY penghargaan. Sebab, deforestasi pada masa kepemimpinannya—merujuk data Walhi—angkanya luar biasa besar. Sepanjang 2006-2007, deforestasi mencapai 2,07 juta hektar. Jika di setiap hektar hutan alam hidup sekitar 2.500 pohon dengan diameter beragam, maka ada 5,17 miliar pohon yang musnah. Angka pemerintah sekalipun, deforestasi tahun lalu mencapai 1,07 juta hektar. Artinya ada 2,6 miliar pohon musnah.

Tidak hanya itu. Presiden SBY justru memimpin perusakan hutan yang tersisa lewat kebijakan-kebijakan kehutanan dan pertambangan yang mengancam keselamatan hutan dan rakyat. Setidaknya, ada dua yang patut dicatat.

Pertama, awal 2008 keluar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan di Luar Kegiatan Kehutanan. PP ini mengobral hutan lindung tersisa, salah satunya bisa dialihfungsikan menjadi kawasan tambang. Sewanya lebih murah dari pisang goreng, hanya Rp 150-Rp 300 per meter per tahun. PP ini memicu keluarnya izin tambang yang jumlahnya gila-gilaan. Di Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur, sedikitnya 247 perizinan tambang batu bara dikeluarkan bupati sepanjang tahun 2008 dan 2009.

Kedua, PP No 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan dan PP No 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Keduanya dipastikan akan mendorong alih fungsi hutan besar-besaran. Di Kalimantan Selatan saja, ada 97 perusahaan tambang batu bara yang kawasan pengerukannya masuk kawasan hutan. Oleh karenanya, mari menganggap Avatar Home Tree Award ini sebuah lelucon, cara Cameron mengolok kita. Ia sebenarnya ingin menyampaikan pesan, mengingatkan pengurus negeri ini agar berhenti memperlakukan hutannya dengan cara biadab.

Siti Maemunah Jaringan Advokasi Tambang
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/29/03092277/avatar.papua.dan..sby