Thursday, March 12, 2009

assessment...

sebuah kebutuhan atau gaya-gayaan????

"kami sedang menurunkan tim untuk melakukan assessment. respon apa yang akan dilakukan, tergantung hasil assessment nanti". kira-kira begitulah setiap kali ada kejadian bencana. rapid assessment sebagai langkah awal, memang menjadi kebutuhan dasar bagi banyak lembaga sebelum melakukan tindakan darurat. Karena, dari data tersebut, akan diputuskan dilakukannya tindakan atau tindak terhadap kejadian bencana.


Jawaban "sedang melakukan assessment" atau "akan menurunkan tim assessment" kerap membuat banyak orang geram, gemas atau mungkin juga marah. Rasa jengkel itu kerap terlontar berupa umpatan-umpatan kasar. "Orang sudah mau mati, masih juga bicara prosedur. Bawa saja apa yang ada, semua barang dibutuhkan disini.. karena disini bukan tempat pesta.. disini daerah terkena bencana".

Apa pun cerita, realitasnya seperti itu. Banyak lembaga kemanusiaan sadar atau tidak mengikuti gaya-gaya pemerintah yang selalu dikritik, dihujat atau dicemooh. Respon terhadap kejadian bencana selalu terlambat. Bak film india... dinama polisi selalu datang (terlambat) setelah persoalan diselsaikan oleh sang jagoan nan ganteng..

Apakah ini terpikir oleh pangambil kebijakan lembaga-lembaga yang secara khusus mempunyai resources (dana dan logistik) untuk tanggap darurat. Mungkin sudah... karena banyak kesepakatan.. atau upaya dilakukan untuk memangkas "penyakit menular" tersebut. salah satunya dengan menciptakan regionalisasi, standarisasi tools/manual assessment, membangun kemitraan dengan NGO's lokal atau serangkaian training. Kesadaran atas keterbatasan resources, pun disikapi dengan membuat kesepakatan antar INGO's yang memiliki mandat sama; kerja-kerja kemanusiaan. harapannya, tentu untuk saling menutup kekurangan masing-masing lembaga dalam melakukan tanggap darurat. Kenyataannya... masih zero.. zero.. zero...

Setiap kejadian bencana, selalu saja pernyataan "kami sedang atau akan melakukan assessment", masih nyaring terdengar. Celakanya lagi.. hampir semua lembaga... melakukan hal yang sama.. assessment. sehingga tidak jarang.. mereka bertemu dan ber-say hallo, cipika-cipiki di kantor atau pos penanganan bencana. Data yang diambil sama dan dari sumber yang sama. Yang membedakan.. format laporannya saja.

Sementara, tidak jarang.. sejak hari pertama kejadian bencana, LSM lokal telah turun gunung melakukan pendataan. Setelah data terkumpul.. para relawan pun bingung.. mau di kirim ke siapa. Sasaran pun ke mailing list (berharap, ada lembaga kemanusiaan yang tersentuh dan mau bermitra). Itu pun kalau akses internet lancar. Mereka yang dengan gagah berani turun gunung dengan segala keterbatasan sumberdaya... belum mendapatkan kepastian.. apa yang selanjutnya dapat dilakukan. Kebutuhann dasar jelas di depan mata. tapi untuk memenuhinya.. tidak ada kemampuan.

Pulsa (biaya komunikasi) pun hilang sia-sia. Ketika para relawan mencoba mencari dan membuka komunikasi dengan lembaga-lembaga kemanusiaan. Setelah berkali-kali telpon dan kirim sms, baru mendapatkan kontak person satu atau dua orang yang bekerja di lembaga kemanusiaan. setelah di kontak.. jawaban awal tentu tentang data. "tolong kirimkan datanya". setelah data terkirim, jawaban pun tidak segera di dapat. bisa jadi jawabannya.. "oh.. kami sedang berancana untuk menurunkan tim assessment. atau... maaf, kami sudah punya mitra dan akan turun ke lapangan.. (entah kapan...).

Kondisi ini selalu terjadi dan terjadi. Bikin muak dan akhirnya membuahkan frustasi. Kenapa kondisi ini terus berulang dan berulang. Bukankan mandat kemanusiaan secara gamblang menjadi pegangan para lembaga-lembaga kemanusiaan tersebut. Bukankah sumberdaya (uang dan logistik) yang mereka kelola atas nama penanganan bencana?

Sebuah keajaiban... Dana untuk menurukan tim untuk assessment tidak lah sedikit. Bahkan bisa jadi setara dengan 10 ton beras. Bisa dibayakan.. ketika gempa terjadi di Nabire atau Manukwari-Papua. Menurunkan tim assessment dari kota-kota yang jauh dari lokasi; jakarta, jogja, bengkulu atau daerah yang jelas-jelas sangat jauh. Berapa rupiah dana dikeluarkan untuk transportasi menuju lokasi bencana? belum lagi kebutuhan untuk akomodasi, transport lokal dan tidak lupa perdiem para assessor?
Bukan kah dana tersebut akan jauh bermanfaat untuk mendukung organisasi lokal? atau langsung untuk menyediakan kebutuhan dasar?

Pertanyaan sederhana kerap muncul di kepala yang tidak lebih besar dari kelapa ini. Apakah memang mutu data dari tim assessment yang diturunkan dari jauh tersebut lebih baik dari yang dibuat komunitas atau LSM lokal?

Kalau sudah begini.. sebetulnya, assessment itu kebutuhan atau gaya?