Thursday, August 14, 2008

WABAH, Bencana bukan?

Flu burung.. begitu menakutkan wabah tersebut. sampai2 muncul larangan memelihara unggas. Bau sangit daging dan bulu2 unggas terbakar ada dimana2. trilyunan rupiah duit negara pun mengalir deras. Belum tuntas flu burung ditanggulangi, wabah lain menyalip. Demam berdarah menyalib di tikungan. korban pun berjatuhan. Salah satunya keponakanku tercinta... yang di diagnosis oleh dokter "kampungan" terserang types. Belum tuntas menangani dua wabah di beberapa daerah... cacar tiba2 muncul. wabah yang pernah di tetapkan telah hilang dari peredaran. WHO sebagai badan kesehatan dunia menetapkan Indonesia bebas cacar, tahun 1974. penyakit yang telah menyelimuti negeri ini sejak tahun 1856. Penyakit sangat menular ini akhirnya dinyatakan hilang dari bumi oleh WHO tahun 1980. Dunia bebas cacar.
Lah kok.. tapi kenapa tiba-tiba tahun 2007-2008 penyakit itu nongol lagi.. dan membawa korban tidak sedikit, terutama anak?
bahkan bayi yang masih dalam kandungan... seperti Muhammad Yusuf. menutup mata sebelum melihat gegap gumpitanya dunia. Meninggal dunia akibat tertular virus varicella-zoster

Malam semakin larut. nyanyian merdu puluhan.. atau mungkin ratusan nyamuk menendang gendang telinga. Jengkel.. tapi tak mampu berbuat apa2. Waktu telah masuk tengah malah. warung-warung kecil telah menutup jendela kecil sekaligus sebagai tepat disply dagangannya. lotion anti nyamuk pun tidak bs di dapat. sekalipun ada... jauhhhhhh....
Jantung seakan berhenti.. ketika RCTI melalui berita malamnya memberitakan tentang wabah Kolera yang terjadi di Papua. tepatnya di Kabupaten Dogiyai. saat itu diberitakan, korban kolera telah mencapai 93 orang. sedangkan data Deptkes mencatat 81 orang. Beda jumlah... akh.. itu biasa di negeri yang lucu ini.

Berita itu mendorong untuk kembali membuka internet. search google, dalam waktu 0,034 detik, terdeteksi 8010 tulisan yang bermuatkan kata yang berhubungan dengan "kolera papua". Sinar harapan menulis, korban kolera telah mencapai 239 orang. hebarnya.. wabah tersebut telah mulai menjangkit sejak bulan April 2008. Sungguh luar biasanya, Wakil Gubernur sampai saat ini belum menerima laporan dari Dinkes Papua atas kejadian tersebut. Lebih luar biasa, Menkokesra pun merasa kaget... kaget dengan berita wabah kolera. wow.... !!!! bisa dibayangkan.. bagaimana lucunya negeri ini khan?
para pejabatnya.. manusia2 terpilih yang diberi tanggung jawab ngurus rakyat... rame2 kaget ketika dikonfirmasi pers tentang sebuah kasus. trus... mandat apa yang dia kerjakan?

Wabah dan response
UU No 24/07 menyebutkan, wabah dan epidemi masuk katagori bencana non alam. Sama dengan kejadian lumpur panas lapindo, sekalipun belakangan dimasukan menjadi bencana alam. Dipaksakan masuk yang disebabkan oleh gempa bumi. sebagai bencana, langkah2 penanganan tentu mengacu pada penangnaan bencana. Dari mulai emergency response, bantuan darurat, pemulihan, sampai rehabilitasi dan rekonstruksi. So, what'd done for ones?

Sebagaimana umumnya kejadian, baru mendapatkan tanggapan setelah pers menyampaikan ke publik melalui media. Response awal pemegang otoritas adalah, Kaget dan akan mengececk kebenarannya. Sementara, akibat dari kejadian, warga terkena dampak semakin menderita karena keterlambatan respon. baik kerana buruknya birokrasi atau sistem penanganan kondisi darurat yang belum baik. contingency planning belum disusun dan dibuat sistem operasionalnya. Jadilah PTB harus survive secara mandiri menghadapi berbagai ancaman ikutan paska bencana ini datang.

Penanganan wabah penyakit atau epidemi lebih cenderung ditangani Dept. Kesehatan. bisa dimaklumi.. karena memang terjadi pada ruang lingkup Dept. Kes. demikian juga saat terjadi kejadi semburan lumpur lapindo. Dept. ESDM menjadi leader. Namun ketika bencana akibat gempa-tsunami, letusan gunungapi.. tidak lagi satu persatu dept. tapi ditangani lintas departemen. bagaimana dengan banjir dan longsor yang juga dikatagorikan bencana alam? ternyata yang leading adalah Dept. PU.

Jika melihat kondisi seperti ini, apa yang menjadi kriteria sebuah kejadian harus ditangani lintas Dept? besarnya? dampaknya? jumlah orang yang meninggal? atau apa? itu baru dari sisi siapa leader dalam menangani bencana. Lalu, kriteria bencana tersebut ditetapkan harus ditangani oleh pemerintah pusat atau daerah. belum tuntas keduanya, muncul lagi.. bagaimana dengan kriteria yang ditetapkan Dept. Kesehatan kaitan dengan kasus wabah. termasuk didalamnya gizi buruk akibat krisis pangan.

Jika sebuah kejadian ditepatkan sebagai bencana, sekecil apapun kejadian tersebut ada respon cepat yang dilakukan oleh multi pihak mensikapi kejadian tersebut. Bahkan dari kompenen masyarakat sendiri. Tidak jarang kita melihat, segerombolan mahasiswa meminta sumbangan hanya berbekal kardus kosong bekas minuman mineral atau mie instan. posko-posko pun dibuka untuk mempermudah mengkonsolidasi bantuan untuk PTB (penduduk terkena bencana). Demikian juga ditingkat Pemda, mengerahkan sumberdaya yang ada untuk menangani kejadian tesebut.

Lalu.. bagaimana dengan wabah?
Melihat dari pemberitaan media, penanganan wabah, sekalipun telah ditetapkan sebagai kondisi luar biasa (KLB), respon hanya sebatas penanganan kesehatan. Karantina yang dilakukan sebuah wilayah, tidak lepas dari upaya preventive upaya kesehatan terhadap penyebaran wabah. diterjunkannya medis, paramedis dan obat2an juga dalam rangka menanggulangi wabah yang ada.

Bagaimana dengan mata pencaharian penduduk ketika karantina dilakukan? bagaimana dengan nutrisi yang harus dipenuhi, lebih baik (sesuai dengan standard minimum) dari sebelumnya. Demikian juga dengan air dan santitasi.
dari persoalan dan kebutuhan yang ada, jelas terlihat.. intervensi yang harus dilakukan mensikapi bencana wabah tersebut. tidak hanya menggratiskan biaya pengobatan, menyediakan medis dan tim medis dan obat-obatan serta antisipasi dengan melakukan karantina.

Hal yang perlu dipikirkan selain masa emergency, adalah bantuan darurat. sampai kapan? dan bagaimana pula kepanjutannya pada fase pemulihan dan pembangunan kembali. Pembangunan kembali tentu berbeda dengan pembangunan kembali dengan kejadian bencana yang menghancurkan infrastruktur.
Kenapa wabah kolera berjangkit? perlu dibongkar akar masalahnya. Jika ada persoalan berkaitan dengan sanitasi, lingkungan yang tidak sehat dll, maka pembangunan kembali harus dilakukan. sehingga kejadian serupa tidak lagi terulang.


Contingency planning.
tidak adanya perencanaan kondisi tak terduga atau contingency planning memposisikan negeri ini selalu kalang kabut. perencanaan kondisi darurat yang ada, hanya diakomodir lewat anggaran. itu pun tanpa didasarkan atas kebutuhannya. Penetapan anggaran yang disahkan menjadi Peraturan Daerah atau UU ini, terpaksa lah yang menjadi acuan pemerintah.

Peruntukan dana darurat atau yang dikenal dengan on call budget tidak dibuat didasarkan atas kondisi objective. bagaimana kita bisa menghitung kebutuhan, sementara data yang dimiliki negeri ini carut marut. masing-masing dept. punya data sendiri2 dengan parameter berbeda. daerah rawan bencana saja, masih bersifat general dan macro. data tersebut masih belum di over lay dengan bebarapa jenis ancaman yang ada serta data kependudukan. Bagaimana kita akan membuat rencana pengurangan risiko bencana atau perencanaan kejadian tak terduga jika basis datanya saja lemah.

sangat wajar ketika pemda bingung mau berbuat apa ketika ada kejadian luar biasa (bencana). cadangan dana langsung habis hanya dalam waktu dua hari. demikian juga dengan stok beras, atau obat2an. bahkan banyak stok tidak tersedia, misalnya tenda/terpal, sarana air bersih dll. sungguh menyedihkan lagi, dana tersebut justru dihabiskan hanya untuk menjamu pejabat yang datang, atau membeli makanan dan minuman instant dan distribusinya. dilain sisi, sumberdaya yang dimiliki dan kuasasi negara tidak mampu di mobilisasi. kendaraan tentara, mobil ambulan, mobil dan truk kendaraan dinas dll. demikian juga sarana dan prasarana yang ada.

Kondisi ini mencerminkan, kejadian besar yang telah terjadi tidak pernah dijadikan sebagai tonggak belajar. bagaimana menangani kondisi darurat, yang dimulai dengan mitigasi dan kesiapsiagaannya. dan perencanaan kontijensi salah satu item terpenting ada. sehingga kebutuhan bisa singkron dengan sistem dan sumberdayanya.

Saturday, August 09, 2008

DISASTER RISK REDUCTION

antara bangga dan sedih


Paska gempa yang diikuti gelombang tsunami di sepanjang pesisir barat Aceh Barat - Utara, boleh dibilang, penghuni bumi dipaksa untuk refleksi diri. Paska mega bencana yang diciptakan itu juga, pengetahuan dan skill bencana menjadi kebutuhan yang amat sangat. Kebutuhan banyaknya SDA untuk diterjunkan ke Aceh dan Nias, memaksa tidak sedikit lembaga (milik pemerintah, swasta maupun NGO's) menurunkan seluruh sumberdayanya. tidak cukup... dibukalah tenaga sukarelawan.
wal hasil... Aceh kebenjiran orang luar dar beragam suku, agama, ras dll. sebuah pemandangan yang tak lazim sebelumnya. Karena Aceh cukup tertutup dengan konflik bersenjata selama lebih dari 30 tahun.

Munculnya beribu manusia ke Aceh menjadi keunikan tersendiri. satu sisi, mendorong situasi aceh lebih kondusif, tapi sisi yang lain, tentu memunculkan problema. tidak tahu apa yang harus dilakukan, merupakan kelaziman yang ada dari sekian masalah tersebut. Demikian juga dengan kurangnya tempat tinggal menyebabkan harga sewa rumah diatas batas normal yang bisa ditolerir logika. tapi bagaimana pun... hukum pasar selalu berlaku. apalagi ketika pemerintah tidak mampu mengatur kondisi tersebut.

kejadian bencana, sepertinya tak berhenti.. kejadian demi kejadian besar antri. gempa susulan yang hanya berselang 3 bulan, banjir bandang di aceh tenggara, Banjir bandang di Jember, longsor di Banjarnegara adalah kejadian beruntun yang terjadi dalam 12 bulan paska tsunami. rentetan kejadian bencana bak antri minyak tanah seperti itu, sebetulnya selalu terjadi di bumi ini. dari tahun ke tahun. Namun menjadi perhatian tersendiri ketika mega bencana memincu hampir seluruh penduduk bumi untuk berkaca diri dan menembatkan ancaman bencana sebagai ancaman kehidupan.


Telah lebih dari tiga tahun kejadian tersebut berlangsung. hiruk pikuk problem mengiringi proses rehab rekon yang di claim sangat berhasil oleh sang Ketua BRR. Claim keberhasilan pun di amini para pemimpin negeri ini, termasuk pemberi dana. Menutup mata dan telinga keluh kesah warga dan pemberitaan berjuta masalah di lapangan.

Lepas dari hiruk pikuk pembangunan kembali paska bencana, isu pengurangan risiko bencana menjadi begitu populer. Kondisi ini tentu sangat baik. Karena sebelumnya, dilirik pun tidak. Sekejap menjadi perhatian jika ada kejadian bencana. Setelah saling tuding, saling caci, dan ditutup dengan prioritas menangani korban bencana... pembicaraan pun hilang. tertutup oleh kejadian2 lain yang lebih menarik. entah itu kontra versi pernyataan para elit atau sekedar ulah selibritis yang beratem dng produsernya,

Hal yang sangat menggembirakan adalah respon yang begitu cepat dari sekelompok orang yang selalu mengatasnamakan rakyat- sekelompok orang yang berkantor dikelilingi pagar nan tinggi dengan pengamanan eksta ketat. Dengan semangat tinggi, berniat menggunakan hak nya sebagai legislator mengusulkan undang-undang. wow... sebuah kejadian langka setelah negeri ini mendapatkan status kemerdekaannya dari kolonial Belanda.apalagi dengan target yang cepat.. 6 bulan. fantastis
tentu ini amat sangat baik, karena sebelumnya, sampai dengan suara parau segelintir orang yg konsisten bekerja untuk management bencana mendorong hal tersebut. Bak dpt durian runtuh... begitu lah kira2. cuma tragisnya.. durian itu baru jatuh setelah 200 ribu orang menjadi korban ganasnya gelombang tsunami.

Seiring naiknya isu reduksi risiko bencana, tentu kebutuhan akan orang atau lembaga yang mengerjakan isu tsb menjadi besar. apalagi setelah secara terang benderang, beberapa lembaga donor mendeklarasikan membuka program pengurangan risiko bencana. semakin terbuka lebar lah peluang untuk hijrah menangani isu tersebut. tidak hanya pada response kejadian bencana... tapi lebih jauh lagi. embel-ember community base pun menjadi barang nan laris.

Beberapa kejadian bencana terus antri. Jogjakarta, sebagai gudangnya orang pinter pun remuk oleh goyangan bumi. Kembali.. 7000 korban menjadi tumbal. semakin banyak lagi kebutuhan orang untuk menangani kebencanaan ini. Isu pengurangan risiko pun menjadi lebih kenceng.sekencang isu penanganan pembangunan kembali paska bencana. Apalagi ditambah dengan ancaman dari perubahan iklim. semakin seru lah dunia kebencanaan menjadi lahan.

Proses alamiah pun berjalan lebih cepat. kebutuhan yang besar akan sumberdaya manusia yang mengerjakan ruang kosong pun harus diisi. tak bisa dicegah. munculah pemain-pemain baru di dunia persilatan pengelolaan risiko bencana. sebuah keberhasilan tentunya.. setelah berpuluh-puluh tahun sebelumnya hanya segelintir orang saja yang bermain pada isu pengelolaan risiko bencana. istilah dia lagi.. dia lagi.. telah masuk kotak besi dan terkunci rapat. pemain-pemain baru telah bermunculan.. merata hampir di seluruh penjuru mata angin.

Jika dilihat dari kaca mata project.. tentu ini sebuah keberhasilan luar biasa. apalagi.. pemerintah pun merespon cukup baik. buktinya.. (sekalipun telat banget dari terget yang dulu ditetapkan), kebijakan PB telah menjadi sandaran hukum negeri ini. demikian juga badan yang mengurusi bencana. Bahkan beberapa daerah telah mengesahkan perda, rencana aksi daerah, bahkan telah menganggarkan dana bencana dalam APBD nya. dari sisi orang atau kelompok pun... telah cukup dijadikan tolok ukur keberhasilan atas kepopuleran isu DRM tsb. Juga dari disiplin ilmu.. wuihhh.. hampir semua bidang ilmu telah mengkaitkan DRM sebagai mainstreaming. kurang apa lagi?????

Sukses besar kah... May Be Yes.. May Be No.. begitu kira2. Karena ada hal yang cukup membuat miris seiring meningkatnya isu dan respon atas PRB. Lihat lah turunan UU PB berupa Peraturan pemerintah atau Kepres. Lihat juga beberapa aturan teknis dalam penanganan bencana yang dibuat.. atau lihat lah hasil kerja pembangunan kembali atau bahkan kerja-kerja tanggap darurat yang dilakukan? lebih baik kah??? atau....
Lihat juga dominasi para pelaku PRB? kok..... lihat juga hasilnya????
dan yang lebih menyedihkan lagi... hasil-hasil kerja yang mereka lakukan menggunakan stempel community base alias BERBASIS MASYARAKAT. salah kah?????

Tidak ada yang salah... ini bagian dari proses bung. jangan sirik... kasih kesempatan. atau.. kenapa anda tidak terlibat???
Ya begitulah kira2 jawaban-jawaban atas pertanyaan kritis yang terlontar atas perkembangan yang ada.
Namun cukup kah perdebatan tersebut menjadi jalan mendapatkan solusi cerdas atas penyimpangan-penyimpangan yang ada????
Penyimpangan??? begitu sadis kah sehingga kondisi yang ada dikatagorikan sebagai bentuk penyimpangan.

Jika melihat dari implikasi yang dihasilkan yang begitu besar bagi kehidupan warga... mengapa takut menyebut hal tersebut sebagai bentuk penyimpangan? Penyusunan kebijakan misalnya. bisa dibayangkan... bagaimana implikasinya? atau bentuk-bentuk lain yang mempengaruhi hajat orang banyak...
Keresahan ini tidak lepas karena munculnya banyak produk dengan atas nama masyarakat sipil. atas nama communty base.
sehingga keterlibatan justru menjustifikasi... kebijakan itu sendiri yang sebetulnya secara langsung atau tidak langsung berkontribusi melemahkan posisi warga.

akhhhhhhh...... terlalu sulit agaknya menuliskan kegelisahan berkaitan dengan ini...
lebih enak diskusi secara oral.... mengeluarkan berbagai argument.. contoh2 kasus dll tentang itu semua..

Niat baik... belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik.. jika tidak disertai dengan jalan yang baik.







Friday, August 01, 2008

NIAS; diantara hiruk pikuk rebuilding; part 2

Kebijakan yang menyesatkan
Tidak sedikit para relawan kemanusiaan melihat perubahan status, dari bencana Nasional menjadi Bencana Daerah. apa dasarnya. Bukankah banyak daerah justru menginginkan status bencana nasional. karena dengan status ini, pemerintah nasional lah yang harus turun tangan, termasuk dana yang diambil dari APBN. Kenapa Pemerintah Nias atau Sumut justru sebaliknya?

Banyak spekulasi yang beredar mencikapi hal tersebut. Salah satunya yang cukup beralasan adalah; Pilkada. Ya.. Nias saat itu sedang bersiap untuk pemilihan kepala daerah. status bencana daerah memungkin seluruh penanganan harus dibawah koordinasi Pemda. artinya, bantuan yang mengalir deras ke Nias, dapat dijadikan sebagai alat kampanye sang calon bupati yang saat itu berkuasa. sedangkan analisis kedua adalah; bantuan kemanusiaan jauh lebih banyak dari luar pemerintah. akan lebih menguntungkan jika di kelola sendiri tanpa campur tangan pemerintah nasional. dan kemungkinan lain adalah: eforia otonomi daerah. Lebih untuk menunjukan kemampuan daerah dalam mengatasi masalahnya sendiri.

Apapun alasan yang diajukan Pemda, perubahan status sangat mempengaruhi penanganan bencana di sana. Keluhan sulitnya mendapatkan akses ke lokasi bencana menjadi gunjingan pekerja kemanusiaan. Baru pada hari ke tiga paska bergoyangnya bumi Nias yang ke dua, puluhan NGO's dapat membawa bantuan kemanusiaan melalui bandara mungil dan Pelabuhan.\
Sementara penduduk terkena bencana di sana... telah kehilangan kesabaran akibat ketidak mampuan Pemda menangani bencana yang terjadi. terjadi kerusuhan saat distribusi bantuan dilakukan. Isu bantuan hanya dibagikan kepada kroni dan kantung2 suara sang calon bupati bukan hanya sekedar gosip.

Keterbatasan akses dan sumberdaya, termasuk SDM lah yang menyebabkan penanganan bencana di Nias kacau balau. yang tak kalah pentingnnya adalah sistem dalam menangani bencana itu sendiri. Untuk yang terakhir, jangankan di Nias, di Jakarta sendiri sebagai ibu kota masih belum menyiapkan sistem yang siap pakai.

Akibatnya sudah bisa di tebak... dampak bencana yang begitu luar biasa terhadap kehidupan di Nias semakin tak tertangani dengan baik. penderitaan pun bertambah. jangan kan mendapatkan makanan, selembar terpal plastik pun tidak terdistribusikan secara merata. Namun.. ego untuk mempertahankan kekuasaan nampaknya jauh lebih penting dibandingkan penderitaan warga. Pendapatan dari linangan air mata jauh lebih menggiurkan dibandingkan isak tangis anak2 yang kelaparan. Sebuah kontras yang sengaja di ciptakan tanpa melihat penderitaan warga yang bertumpuk dan terus bertumpuk.

Satu bulan paska Gempa susulan... BRR pun terbentuk. Nias masih ditetapkan sebagai wilayah kerja. Justru disinilah terjadi kerancuan dalam menjalankan kerja-kerja pembangunan kembali. Pemda merasa berhak atau berwenang menjalankan seluruh kerja-kerja pembangunan kembali. karena status bencana daerah memberikan wewenang untuk itu. sementara, BRR dibentuk oleh Pemerintah Pusat. yang tanggung jawab pekerjaannya pun kepada pusat. bukan daerah. tidak ada hubungan langsung dengan daerah secara hirarki. Koordinasi lah yang menghubungkan kerja BRR dengan Pemda Nias atau Sumut.

Friksi terus berlangsung. dari mulai mendata jumlah korban, rumah dan fasilitas publik terkena dampak sampai saat penetapan.. siapa yang berhak mendapatkan "bantuan". Ruwetnya koordinasi, berdampak pada kerja-kerja NGO's yang lebih mementingkan kerja riil dan langsung bekerja bersama masyarakat. Tumburan antar kepentingan pun berimplikasi di level warga sendiri. sang pemilik akses.. sontak memanfaatkan peluang. Lupa sudah.. kejadian gempa dirasakan bersama, sependeritaan. Kondisi ini memperkusut situasi dan kondisi karena bertambahnya masalah; friksi antar masyarakat.

Demikian luas implikasi dari sebuah kebijakan tanpa analisis mendalam. tidak penting memang, apakah status bencana tersebut masuk katagori nasional atau daerah. lebih penting dari itu semua... bagaimana pelayanan negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warga terkena dampak. karena memenuhi seluruh kebutuhan dasar merupakan bagian dari HAM. selain memenuhi hak melindungi dan menyelamatkan warga dari ancaman bencana.

tulisan berikutnya akan lebih memotret, hiruk pikuk setelah lebih dari 3 tahun berjalannya rebuilding dilevel masyarakat