Sunday, December 03, 2006


SPHERE STANDARD itu.. Sungguh aku sangat menghargai upaya keras banyak organisasi kemanusiaan menyusun kerangka acuan penanganan pengungsi. Kerangka acuan ini begitu penting. Tidak hanya untuk para pekerja kemanusiaan, untuk mempermudah kerja2 mereka. Lebih dari itu. Jutaan manusia yang terpaksa berstatus sebagai pengungsi menerima manfaat dari standard2 tersebut.

Terlepas dari standard2 minimum tersebut masih jauh untuk bisa diterapkan, secara substansi telah mulai menjadi kerangka acu. Kontraversi atas standard yang dinilai terlalu tinggi oleh berbagai negara, terlalu sulit diterapkan oleh pekerja kemanusiaan, atau terlalu berlebihan bagi organisasi yang baru pertama kali terjun ke dunia penanganan bencana.

Yang perlu dicatat adalah spirit dari SPHERE itu sendiri. Spirit menjunjung tinggi nilai2 kemanusiaan. Spirit yang mengembalikan martabat manusia sebagai mana kodratnya.

Lalu kenapa bisa muncul kontraversi jika spritinya seperti itu. Spirit yang sama tentunya dengan seluruh manusia yang masih waras. entah mereka2 yang sudah "konclak" otaknya.

SPHERE umumnya menjadi kontraversi ketika pemahaman atas standard2 tersebut tidak dipahami secara baik. Pemahaman permukaan, namun merasa sudah paham. Lebih celaka lagi, si orang tersebut mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan. Celaka dua belas lagi, si eksekutor malas untuk mempelajari (paling enggak baca sampe tuntas lah) tentang apa itu SPHERE. Si boss sok tahu, si pelaksana bego. Lengkaplah sudah distorsi SPHERE dalam implementasi. Karenanya... bisa jadi, akan berdampak luas ditingkat masyarakat, pemerintahan lokal dan pekerja kemanusiaan yang lain.

Pada kejadian bencana besar seperti di Aceh-Nias atau Jogja-Klaten akan sangat terasa sekali. Bagaimana tidak, kebutuhan yang harus dipenuhi tidak seimbang dengan ketersediaan. Untuk shelter aja misalnya. Pengungsi tercatat 1,5 juta yang tersebar luas. Sedangkan barangnya.. hanya 2.000 biji terpal ukuran 4 x 6. Pemerintah sendiri bingung mau menyediakan dari mana. Lembaga kemanusiaan yang siap dengan barang, tidak bisa segera menyediakan dalam waktu cepat. Paling tidak, dibutuhkan 3 - 5 hari untuk memobilisasi terpal2 yang berada di luar kota, atau bahkan di luar pulau. dibutuhkan sarana transportasi yang cukup besar untuk itu.

Dalam SPHERE berbicara kontek ideal. satu orang memerlukan ruang 3,5 m2. jadi kalau dalam keluarga tersebut berjumlah 5 orang, maka dibutuhkan ruang 17.5 m2. atau kalau 1 lembar terpal ukuran 4 x 6 (24 m2; ukuran lembar jika dibuat model tenda akan berkurang luasnya). Jumlah 2.000 lb jika dikaitkan dengan kondisi ideal, hanya mampu meng-cover 2.000 keluarga dengan rata2 berjumlah 5 orang atau 10.000 jiwa. lalu bagaimana dengan sisanya yang 1.490.000 orang? apakah mereka kita biarkan mereka menderita bahkan tewas hanya untuk mempertahankan kondisi ideal tersebut? Kondisi ini juga akan berlaku untuk pemenuhan air bersih, sanitasi, nutrisi atau makanan.

Secara akal sehat, tentu kita akan menolak menerapkan kondisi ideal dengan mempertaruhkan lebih banyak orang sebagai korban. Dan jika pun kita tidak mengikuti standard minimum seperti yang ada di SPHERE, tidak lah haram.
Percayalah, mekanisme lokal akan mengatur kekuranganan yang ada. Dan dalam SPHERE jelas2 disebutkan bahwa : menyesuaikan dengan sosio kultur lokal.


Hal yang perlu di catatat lagi adalah : Tugas utama memenuhi seluruh kebutuhan warga terkena dampak bencana adalah negara yang bersangkutan. Nah, disini menjadi lebih jelas. SPHERE merupakan alat advokasi. Karena tidak mungkin juga kita mengambil alih tugas negara kan. Kerja2 kita adalah memastikan negara menjalankan kewajibannya. sehingga, bukanlah sebuah persoalan bagi kita ketika kita hanya 2000 biji dan disitribusikan untuk memenuhi lebih dari 10.000 IDP's. Namun begitu, tapi harus tetap sadar, bahwa itu pemenuhan itu masih belum ideal. Kewajiban kita adalah, mendorong negara untuk memenuhinya sampai kondisi ideal itu tercipta. Artinya, jika dalam sebuah desa jumlah IDP's berjumlah 20.000, maka pemerintah harus menyediakan 2000 terpal dengan ukuran 4x6 untuk desa tersebut.

Disinilah perlunya koordinasi. Kerja2 yang dilakukan oleh banyak pihak, harus dikomunikasikan. sehingga tidak terjadi overlaping atau penumpukan di satu lokasi, dan kosong untuk lokasi lain. Selain koordinasi, data yang terkumpul harus dikelola dengan baik. saling mengkomunikasikan kerja2 yang dilakukan akan mempercepat pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan kondisi ideal.

Masih blunder memahami tentang SPHERE sebagai kerangka acu penanganan pengungsi? baca aja langsung di http://www.sphereproject.org
Jangan pernah anda berkomentar SPHERE sulit dan tidak bisa dijalankan di Indonesia sebelum anda betul2 memahami... APA ITU SPHERE PROJECT


(gambar2 diambil dari website www.sphereproject.org dan www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A62072-2004May27.html)

terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

Friday, December 01, 2006

PRA DAN PENGELOLAAN RISIKO BENCANA



Participatory rural appraisal (PRA) begitu kondang dikalangan NGO's tahun 80-an. Semakin kondang memasuki tahun 90-an. Hampir semua NGO's yang bekerja dipedesaan menggunakan pendekatan ini untuk program2 pengembangan masyarakat. tidak hanya Ornop, UN pun mengadopsi pendekatan ini seperti yang dilakukan FAO, sebuah badan di tubuh PBB untuk urusan pangan. World Bank dan ADB pun tidak ketinggalan. Kekondangan ini pun dilirik beberapa instansi pemerintah yang mempunyai kedekatan program2 di pedesaan. Seiring kepopuleran PRA, terjadi pengembangan2 sesuai dengan kebutuhan. RRA (rapid rural appraisal) atau PAR (participation action research) misalnya yang muncul kerena kebutuhan riset pengembangan masyarakat. PLA (participatory learning and action) sebagai bagian dari proses learning by doing dan masih banyak lagi.

Adopsi terhadap metode PRA dalam berbagai bidang, selain menjadikan PRA menjadi semakin berfariasi dan berkembang, sisi lain menyebabkan degragasi nilai2 PRA itu sendiri. PRA yang tercipta dari proses panjang pengembangan komunitas hanya jadikan simbol. Simbolisasi dari proses "partisipasi". Ruang yang dibuka sang pemikir PRA banyak dibiaskan oleh banyak pihak. Terlalu banyak fasilitator PRA yang sebetulnya masih belum memahami substansi PRA turun ke desa2. Jargon2 partisipasi dikumandangkan yang bertolak belakang dengan proses yang dilakukan. PRA pun dijadikan alat justifikasi proses. PRA menjadi justifikasi kesepakatan2. PRA dijadikan alat justifikasi pengambilan keputusan.

Pembiasaan PRA sampai pada puncaknya. Cibiran pun datang bergelombang atas implementasi PRA sebagai proses partisipasi semu. Partisipasi seolah2 untuk kepentingan project.

Apapun yang terjadi dan dicibirkan banyak pihak, PRA sebagai pendekatan sungguh luar biasa. PRA sebagai proses pembelajaran atau sebagai tranformasi knowledge sungguh luar biasa. Belajar dari pengalaman, belajar sesama warga, belajar bersama memahami desa atau lingkungan sendiri dan belajar menghargai sesama warga adalah substansi dari PRA. PRA bukan lah 9 alat untuk menghasilkan data. PRA tidak harus dilakukan berdasarkan tahapan2 kaku penggunakan 9 tools tersebut yang selanjutnya terus berkembang.

PRA dalam pengelolaan risiko bencana sangat berjodoh. Melalui pemetaan sumberdaya, akan terungkap pula sumber2 ancaman yang ada. Lewat pemetaan sumberdaya tentu akan membicarakan juga berbagai potensi yang mengancam terhadap sumber daya tersebut. Demikian juga ketika mendiskusikan sesama warga atas runtutan peristiwa, kecenderungan dan perubahan maupun menggali lebih dalam berbagai persoalan penting. Lewat analisis kelembagaan (diagram ven), antar warga akan dapat melihat seberapa besar peran lembaga2 yang ada berfungsi dalam kehidupan warga. bagaimana pola hubungannya antar lembaga dan dengan warga masyarakat. Bagaimana lembaga tersebut berperan untuk pengurangan risiko dan dampak bencana. atau seberapa siap lembaga2 yang ada untuk melakukan reduksi ancaman atau menanggulangi ketika bencana terjadi.

PRA sekali lagi hanya lah alat. sebuah media yang bisa digunakan untuk bersama-sama mengenal dan mempelajari berbagai potensi dan masalah. lewat obrolan ringan yang terstruktur, akan ditemukan berbagai gagasan cemerlang sebagai solusi.
Sebelum menerapkan PRA, menjadi penting untuk mengenal substansi dari PRA itu sendiri. mempelari dengan seksama tools yang ada sebagai media membangun proses bersama masyarakat. Jangan terjebak pada alat2 PRA... karana akan membiaskan proses dan substansi partisipasi itu sendiri.



terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA
BENCANA SETELAH BENCANA..


itu loh mas, hutan di sana udah pada gundul. Slamet menunjuk daerah perbukitan yang memang sudah botak. Minggu pagi, hari yang seharusnya ceria karena merupakan hari libut sekolah. hari yang biasa diisi oleh canda tawa renyah anak2. Hari yang juga menyenangkan buat orang tua karena anak2 mereka membantu kerja mereka.

Sejak semalaman hujan seolah di tumpahkan dari langit. tidak satu pun warga desa terpencil keluar rumah. Padahal biasanya, selepas isya, mereka duduk2 sambil ngobrol2 di beberapa tempat. Kelopok pemuda, punya tempat favorite sendiri. Kelompok Tua pun demikian. Kelompok2 ibu2 muda pun tidak ketinggalan. Berkumpul sambil ngerumpi di salah satu rumah sambil menonton sinetron. Namun, malam itu, hujan yang begitu deras memunculkan keengganan untuk keluar rumah.

Jam menunjukan pukul 12.45 WIB, ketika suara bergemuruh mengiringi nyanyian hujan yang mulai menegecil. Gemuruh bak mesin pesawat jet begitu cepat mendekat ke arah perkampungan. Warga yang belum terlelap pun bertanya2, suara apakah gerangan? Belum sempat menemukan jawaban, tiba2 rumah2 mereka hancur berkeping di terjang benda pekat. Jeritan kesakitan dan ketahutan pun serentak menggema penuhi udara kampung. Sesaat hening... lalu terdengar2 kembali suara parau meminta tolong, berbaur dengan rintih kesakitan.

Banjir bandang... telah meluluh lantakan sepertempat kampung lereng bukit. Kampung yang selalu nyaman dan mengundang decak kagum para tamu. Udara yang segara, sapa ramah penduduk atau berbagai produk lokal yang ditawarkan. sekalipun tidak mudah mencapai desa terpencil tersebut, terbalaskan seluruh jerih payah dalam perjalanan dengan suasana yang damai. Silahkan mampir bu.. sapa perempuan tua disela kesibukannya menjemur kemiri. Gadis2 manis lugu pun menebarkan senyum indahnya menujukan sikap ramah bermungkus malu.

Banjir bandang... meninggalkan luka. Luka fisik dan luka jiwa yang menganga. Anak kehilangan orang tua, orang tua kehilangan anak. Kehilangan kerabat dekat, dan harta benda yang secara perlahan dikumpulkan selama menjani kehidupan. Tidak ada lagi tawa renyah disela obrolan ringan antar tetangga. Tidak ada lagi tangis anak yang berebut mainan. Hilang bersama air bah bercampur lumpur, batu dan kayu2 glondongan.

Begitu cepat banjir bandang mencipta bencana. Mencipta penderitaan dan Mencipta kepanikan seluruh pihak. Kepanikan penanganan akibat media massa yang memberitakan terus menerus sebab, kondisi desa, dan penanganan pengungsi. Seluruh sumberdaya dikerahkan untuk menanganani kejadian bencana. Tim evakuasi, dapur umum, tim kesehatan sampai penyediaan tempat hunian dan makanan. Berbagai fasilitas publik pun disulap menjadi tempat2 penampungan sementara.

Kepanikan akibat dari sorotan publik atas penanganan bencana perlu kita cermati. Kesigapan yang begitu hebat terlihat namun tidak pernah ditemui di lapangan. Evakuasi misalnya, seolah2 terlihat serius dilakukan ketika moncong2 kamera merekan aktifitas mereka. Ketika tidak ada, mereka melakukan ala kadarnya. Duduk2 santai, sambil menikmati kepulan asap tembakau. Medis dan pra medis terlihat ramah.. berubah muka masam ketika tidak ada yang mengawasi. Demikian juga dengan yang lain.
Ini adalah fakta yang terjadi di banyak tempat. Kesigapan untuk menepis bahwa pemerintah serius menangani korban bencana.

Kesigapan kamuflase. Kesigapan yang sebetulnya tidak sigap. Kesigapan atas dasar kepanikan. Kesigapan untuk menutup aib sebuah kesalahan besar, sebuah kesalahan paling fatal atas mandat negara yang paling hakiki. Melindungi segenap tumpah darah dan bangsa..
Kepanikan ini jelas terlihat dari bagaimana mereka bekerja tanpa sistem, perencanaan dan dukungan pendanaan yang cukup. Menangani jiwa2 yang sedang bertahan untuk tetap hidup dengan hanya menggunakan insting.

Dana tersedia untuk penanganan bencana yang terpampang di APBN - APBD sama sekali tidak didasarkan atas kondisi dilapangan. Berapa penduduk rentan dan besaran potensi ancaman. Berbagai sumberdaya tersedia tidak dikelola dalam sebuah sistem "rencana kemungkinan darurat" (contingency planning). Jika banjir bandang terjadi di sebuah desa dengan populasi sekian, kondisi jalan yang telah terpetakan dan sistem informasi tersedia. Berapa sumberdaya harus dikerahkan. tempat penampungan sementara, jumlah air harus tersedia, jumlah medis dan paramedis berikut obat2annya, kendaraan sebagai sarana transportasi lengkap dengan jenis yang sesuai dengan medan yang akan ditempuh, sampai sumberdaya manusia seperti apa yang dibutuhkan. Jika tidak tersedia, bagaimana bisa mendatangkan ke lokasi bencana. butuh berapa lama untuk itu. Kebutuhan logistik berapa dan berapa tersedia?

Ini semua dapat dibuat jika peta rawan dan komunitas rentan bencana telah tersedia. dari data tersebut, akan dengan mudah dibuat sistem kedaruratan atau berbagai upaya preventif untuk reduksi risiko dan dampak bencana. RAPBD - RAPBN pun dengan mudah menganggarkan besaran budget, berapa untuk kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan, berapa untuk emergency respon - recovery nya. Dana tersebut, bisa saja dititipkan melalui instansi teknis dengan catatan khusus. Atau berada di satu lembaga khusus dengan kebijakan khusus pula.

Ketidak siapan menanganai bencana akan menimbulkan bencana baru. salah satunya yang dikenal dengan post disaster desease (wabah penyakit paska bencana). ISPA, Diare, Campak, gizi buruk adalah penyakit biasa namun dapat menjadai penyakit mematikan pada kondisi pengungsi. Selain ketersediaan 5 kebutuhan dasar sesuai dengan kebutuhan, sistem pun akan sangat menentukan. Ketersediaan barang mungkin cukup atau bahkan melimpah, tidak menjamin sampai ke pengungsi dengan baik. Penanganan Aceh-Nias adalah sebuah fakta. Masih Banyak barang bantuan setelah 2 tahun kejadian bencana yang masih tertahan di pelabuhan2, bandara atau bahkan gudang2 logistik pemerintah. Buruknya sistem adalah penyebab utamanya. Koordinasi antar instansi tidak jalan dalam menghadapi kondisi darurat.

Bencana pun dapat terjadi sebelum bencana sesungguhnya terjadi. Lagi2 pada penanganan yang tidak didasarkan atas sistem dan ketersediaan kebutuhan yang memadai. Letupan merapi menyebabkan banyak pihak bergidik. Korban jiwa yang terjadi akibat dari bencana menyebabkan pemerintah lebih dini bersikap. Penduduk pun di ungsikan. Masalah muncul ketika tidak disertai dengan kecukupan kebutuhan. Tempat penampungan tidak memadai, makanan, air bersih, pelayanan kesehatan pun jauh dari cukup. Berbagai kegiatan seremonial para pejabat pun menambah beban baru bagi warga yang dipaka mengungsi.
Lebih tragis lagi, warga yang meniggalkan desa karena perintah dari pemda tidak mendapatkan jaminan apa2 atas aset2 yang ditinggalkannya. Tidak pula dipikirkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bencana pun terjadi sebelum bencana yang sesungguhnya datang...

Sebagai warga yang juga punya hak untuk dilindungi dan diselamatkan dari ancaman bencana, apa yang bisa kita lakukan? Faktanya.. negara masih mengabaikan hak2 tersebut. Negara, dalam hal ini pemerintah masih tidak menjalankan mandat paling hakiki tersebut?

WALHI, sebagai bagian dari kelompok masyarakat sipil akan terus mendorong kewajiban2 negara untuk melakukan itu. Mendorong melalui berbagai aksi kongkrit. Bergabunglah.. dan mari bersama2 warga lain untuk mendesakkan berbagai upaya mereduksi risiko dan dampak bencana...