Wednesday, November 29, 2006

Memetakan Sumber Acaman & Sumberdaya



Memetakan sumberdaya itu penting. Tidak kalah penting juga memetakan sumber2 ancaman. Mengetahui sumber ancaman dan karateristiknya dapat menjadi modal bersiaga. Modal untuk mengurangi risiko dan dampak dari ancaman tersubut. Modal untuk lebih hati2 memanfaatkan sumberdaya. Dan modal untuk lebih menghargai kehidupan...

Begitu penting memetakan sumber2 ancaman. dengan mengetahuinya, akan muncul segenap upaya, baik secara langsung berkaitan dengan ancaman atau tidak langsung. langsung akan dilakukan ketika sumber ancaman dapat langsung diintervensi untuk dihilangkan atau dikurangi. Tidak langsung ketika sumber ancaman tesebut tidak mungkin diintervensi. Gunungapi, gempa bumi dan tsunami misalnya. Dari sisi sumber, terlalu sulit untuk menghilangkan bahayanya. dan sulit juga mengurangi secara langsung. Yang dapat dilakukan adalah, mengelola risiko dan dampak dari ancaman pada seluruh proses menjalani kehidupan.

Memulai memetakan sumber2 ancaman tidak harus ada pakar geologi atau kebencanaan. Apalagi harus menggunakan segenap alat canggih yang super mahal. Teodolit, GPS, Kompas dll. Pemetaan dapat dimulai ddengan mulai berdiskusi ringan seputar ancaman yang dirasakan, dilihat, dialami atau dikhawatirkan terjadi. Berbagai kejadian yang telah terjadi dapat dijadikan (sekalipun berskala kecil) sebagai signal jika sebuah daerah rawan. Kejadian terakhir dapat dijadikan titik acuan mengurut kejadian2 sebelumnya atau bisa jadi sejak terbentuknya komunitas disitu. untuk itu, dibutuhkan narasumber dari orang2 tua. Tahun berapa pernah terjadi bencana, seberapa besar dan diwilayah mana saja yang terkena, apa pemicunya. Apakah ada korban jiwa?

Penuturan dengan melibatkan berbagai unsur, usia dan gender merupakan bagian tranformasi informasi. Proses disertai dialog, menjadikan proses belajar antar warga. Dari penuturan tersebut (sejarah kejadian2 bencana), dapat menjadi titik awal untuk mulai melakukan pemetaan. Pemetaan yang didasarkan atas kesadaran kritis untuk meruduksi risiko dan dampak bencana. Untuk itu, seluruh sumber-sumber ancaman bencana perlu dipetakan. Lainnya, tidak berbeda dengan peta2 yang ada di kelurahan/Balai Desa atau Kecamatan. Hal yang membedakan, adalah pendetilan dari peta2 tersebut. Selain Jalan2 yang ada, bangunan publik, Jembatan, maupun sawah/kebun dan sungai, perlu melihat lebih detil lagi. Pendetilan dikaitkan dengan sumber2 bencana yang telah terpetakan.

Sumber ancaman yang terpetakan, tentu harus dikaitkan dengan kejadian2 bencana sebelumnya, jika pernah terjadi. Apakah ancaman yang ada merupakan bagian dari kejadian bencana2 sebelumnya atau baru muncul akibat berbagai perisitiwa berikutnya. Peta harus juga memetakan daerah-daerah rawan dan rentan. Rawan adalah daerah-daerah yang secara langsung berisiko terkena dampak dari ancaman bencana. Rentan adalah kondisi yang mengarah dan menimbulkan konsekwensi (fisik, sosial, ekonomi, dan perilaku) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana.

Lewat peta, warga akan melihat secara langsung kerawanan dan kerentanan yang ada. Wilayah mana ada yang mungkin terkena bencana. siapa yang paling berisiko misalnya balita, manula, difable atau orang, keluarga atau komunitas termarginal. Lewat peta juga, warga akan melihat penyebab2 bencana sekaligus mendapatkan gambaran berbagai upaya mitigasi-kesiapsiagaan sebagai bagian dari reduksi bencana.

Memulai penyusun peta bahaya dan sumberdaya bisa dimulai dari mana pun dengan berbagai situasi. yang terpenting adalah, ada satu atau dua orang yang melakukan pendokumentasian proses. Bisa penyusunan peta dilakukan saat kita berkumpul untuk jaga malam. Atau bahkan sekedar nongkrong2 ngobrol ngalor ngidul. Dengan memfokuskan pada satu pembicaraan (membuat peta), akan tersusun sebuah peta sumberdaya dan peta bahaya yang lengkap.

Monday, November 27, 2006

MEMULAI MENGELOLA RISIKO BENCANA


Mengelola risiko bencana itu gampang.. Bener kah? Padahal.. kalau denger2 dari para pakar, aktifis, atau para pekerja kemanusiaan.. kok sulit banget. Butuh dana guede banget. Juga banyak prasyarat lainnya. Kalau gampang, kenapa gak bisa dilakukan? Padahal ancaman yang ada di Republik Bencana ini begitu besar.. 93 % dengan tingkat kerentanan warganya ampe 98 %.


Gampang, kalau ada niat dan mau ngejalaninnya. Tahu bagaimana memulai dengan sumberdaya yang dimiliki. Kalau ngomong problem, pasti ada. Kendala pasti akan ditemui. Dan itu wajar. Karena untuk bikin jalan kampung aja, kita akan dihadapkan dengan segenap progbem. Padahal, jalan tersebut jelas2 akan dipake oleh seluruh warga.

Mengelola bencana mulai dari mana kalau begitu? Bisa mulai dari manapun. Namun yang terpenting adalah, kesamaan persepsi ditingkat warga itu sendiri. Sama-sama memahami kalau kampungnya terancam dengan jenisnya ancamannya, menyadari kerentanan yang dimiliki dan tahu risiko ketika ancaman itu datang. Setelah itu, kita bisa melakukan dari manapun. Bisa dari memetakan lebih detil kapasitas dan kerentanan. Dari meruntut sejarah kejadian bencana, perubahan dan kecenderungan atau bisa juga mulai dengan pengembangan jaringan. Mencari temen di luar yang bisa diajak bermain bersama.

Membangun kesepahaman
Membangun kesepahaman ditingkat warga adalah hal yang utama. Dan ini juga yang kerap dilupakan banyak pihak ketika mengembangkan program-program pengelolaan risiko bencana. seolah, membangun persepsi cukup dengan sekali atau dua kali sosialisasi. Dengan kepala desa atau kepala dusun ikut ngomong, seluruh warga tahu dan paham nilai penting dari mengelola risiko bencana. trus langsung memulai proses lanjutan yang kadang udah di bikin tanpa melibatkan warga. Pemetaan kapasitas dan kerentanan lah. Ngadain training, workshop, bikin organisasi local dll.

Paham aja belom, sudah “dipaksa” untuk memulai kerja2 pengelolaan risiko bencana. Kalau indikatornya, berjalannya kegiatan tersebut, sudah dipastikan jalan. Namun, apakah mereka melakukannya dengan kesadaran atau hanya kerana sekedar terlibat.

Keterlibatan, khususnya buat masyarakat pedesaan bukan berarti mereka sepakat lo. Tidak juga bisa diartikan mereka paham dan dengan kesadaran penuh bersama-sama menjalankan kerja-kerja mereduksi bencana, atau apapun. Keterlibatan bisa hanya dikarenakan rasa sungkan, tidak enak hati atau ya sebagai bagian dari kultur. Jadi, kalau mereka terlibat menjadi bagian dari training misalnya atau perencanaan program, jangan bangga dulu kalau partisipasi mereka cukup bagus dan mendukung program yang sedang kita usung. Apalagi kalau pertemuannya di hotel mewah, dan dikasih transport lagi.

Persoalan mendasar itu bukan tidak disadari oleh banyak pihak yang melakukan inisiasi membangun kesiapsiagaan, mitigasi, pembangunan kembali atau apalah yang merujung pada pengurangan risiko bencana. Namun, kadang waktu dan ketersediaan waktu mengabaikan hal yang substansial. Dan akhirnya, yang penting program berjalan, uang proyek habis, ada bukti kalau proyek itu bisa dijalankan seperti keterlibatan, produk dari kegiatan dll dan selesai.

Betul, untuk menumbuhkan kesadaran kritis butuh proses. Gak salah juga kalau salah satu kegiatan transformasi itu melalui sosialisasi dengan melibatkan aparat pemerintahan local atau tokoh masyarakat. Bukan berarti gak bener kalau kegiatan langsung tancap gas ke training, workshop dll. Tapi yang harus disadari adalah, apakah warga masyarakat dimana kita menjalankan program betul sudah paham nilai penting dari program yang sedang dijalankan dan seberapa mereka menganggap penting.

Celakanya adalah, baru sekali sosialisasi, kita sudah memvonis, masyarakat sudah tahu dan paham dan kedatangan mereka sebagai sebuah bukti dukungan. Ramainya diskusipun dijadikan indicator daya kritis masyarakat. Celaka dua belas. Karena anggapan itu, maka tidak ada lagi upaya untuk lebih menanamkan pengetahuan dan pemahaman, mengembangkan strategi atau melihat lebih detil kondisi objektif di lapangan. Konyolnya lagi, ini disikapi dengan pendampingan atau kerennya pengorganisasian masyarakat hanya dengan cara kunjungan resmi ke lokasi program. 2 – 4 jam sekali seminggu atau dua kali seminggu atau bahkan sebulan sekali. Bagaimana bisa terjadi transformasi jika pendekatannya seperti ini. Apalagi sang pendamping, atau pengorganisasi masyarakat, sadar atau tidak sadar.. merasa sebagai “si segala tahu”

Memetakan Kapasitas dan kerantanan
Pemahaman yang sudah sampai ke memori masyarakat tentang nilai penting mengelola risiko bencana akan menghantarkan mereka melakukan pemetaan kapasitas dan kerentanannya sendiri. Pemetaan dilakukan baik secara individu, tingkat keluarga atau kolektif. Individu umumnya lewat refleksi diri. Jika ancaman seperti ini, apa yang bisa saya lakukan. Apakah saya punya kemampuan menyelamatkan diri, meyelamatkan keluarga dan menyelelamatkan harta. Apa yang paling penting harus dilakukan. Bagaimana kondisi rumah kita, apakah cukup aman. Aset-aset yang sekarang ada, apakah cukup aman ketika ancaman datang. Pertanyaan ini akan terjawab dengan jujur karena diperuntukan untuk dirinya sendiri. Lalu beralih ke keluarganya dan kelompok2 komunitas lainnya.

Perenungan diri atau diskusi informal akan terus bergulir. Obrolan2 ringan adalah sebagai bagian juga dalam menyamakan persepsi antar individu. Sebagai bagian meningkatkan pemahaman atas risiko bencana. serangkaian obrolan itu lah yang akan membawa pada agenda-agenda kerja yang lebih kongrit, seperti pemetaan kapasitas dan kerentanan secara kolektif, pemetaan daerah rawan dan warga yang rentan, pemetaan sumber daya dan sumber-sumber ancaman dll. Obrolan ringan ini dapat juga mulai mengarah pada kerja-kerja advokasi, misalnya medesak pemerintah desa untuk mengeluarkan kebijakan tentang perlindungan kawasan, menghentikan operasional usaha yang berpotensi meningkatkan kerentanan dan kerawanan atau mencari orang yang mempunyai pemahaman tentang mitigasi bencana.

Banyak hal yang bisa dilakukan ketika kesadaran ktiris mulai muncul. Sadar atas kerentanan dan kapasitas yang dimiliki. Sadar atas fakta yang ada dan dihadapi. Tahu betul risiko dan dampak yang akan diterima ketika tidak berbuat. Akan terjadi pembantaian massal melalui alat pembunuh dari alam. Entah itu banjir bandang, letusan gunung api, gempa, tsunami atau lainnya.

200 ribu lebih warga Aceh adalah tumbal atas pengabaian risiko dan dampak bencana. 7000 lebih warga Jogja – Klaten sample ketidak pedulian atas potensi ancaman bencana. Ratusan ribu lain adalah tewas sia-sia dari kebodohan semua pihak terhadap kerentanan warga negari ini yang hidup di negeri bencana. Akan kah kita membiarkan pembunuhan dan bunuh diri massal ini terus berlangsung..??? sementara, begitu mudahnya kita bisa memulai mengelola risiko bencana dari diri kita sendiri, keluarga kita, komunitas kita. Dan memaksa pemerintah sebagai penanggung jawab jalannya negeri ini menjalankan kewajibannya. Melindungi dan menyelamatkan warga negara dari ancaman bencana.

Sunday, November 26, 2006

WALHI dan Pengelolaan Risiko Bencana

Sejak kelahirannya dan mewarnai dinamika pengelolaan lingkungan hidup, 26 tahun yang lalu, WALHI telah secara langsung bersentuhan dengan persoalan kebencanaan. Peringatan dan peran2 WALHI dalam pengelolaan lingkungan merupakan bagian dari upaya preventif dalam pengelolaan lingkungan hidup. Upaya tersebut semakin nyata dari tahun ke tahun.

Perubahan paradigma kerja-kerja pengelolaan lingkungan semakin memperjelas upaya nyata WALHI dalam pengelolaan risiko bencana tahun 90-an. Karakter WALHI semakin jelas ditunjukan melalui berbagai upaya advokasi yang dilakukan. Suka atau tidak suka, WALHI dengan anggota yang tersebar di seluruh nusantara menjadi momok bagi pengusaha dan birokrat nakal. Terobosan legal standing adalah salah satu record WALHI dalam bidang hukum di Indonesia. Pengelolaan bencana sekalipun tidak secara tegas muncul, namun upaya2 yang dilakukan jelas menunjukan WALHI telah mengembangkan pengelolaan risiko bencana.

Bencana asap akibat kebakaran lahan di Sumatra dan Kalimantan, 1997 memaksa WALHI untuk melihat persoalan bencana menjadi menyeluruh. emergency response yang sebelumnya tidak ditangani WALHI mulai mulai dipertimbangkan. Ratusan ribu warga tercekik asap akibat lahan2 gambut terbakar serta buruknya perhatian pemerintah atas persoalan ini menjadikan WALHI mengambil peran lebih kongkrit. Advokasi pun dilakukan bersamaan dengan kerja-kerja kemanusiaan. Demikian juga saat Jakarta dikepung banjir tahun 2001.

Diskusi panjang ditingkat institusi WALHI terus bergulir. pro kontra atas inisiatif WALHI melakukan kerja2 pengelolaan bencana secara lengkap mewarnai setiap saat. Sekalipun masih belum secara resmi menjadi divisi tersendiri, namun WALHI di daerah sudah mulai mengembangkan CBDM. independensi tiap daerah memungkinkan WALHI di tiap daerah membentuk karakternya sendiri. Menyusun dan menjalankan programnya sesuai dengan kondisi objektif dari daerah itu sendiri. WALHI jogja, bersama KAPPALA Indonesia dan CD Bethesda telah melakukan kerja2 riil pengelolaan bencana berbasis Masyarakat sejak Merapi menghantam dusun Turgo, Februari 1994.

Sekalipun tidak secara lengkap menjalankan program CBDRM, fokus WALHI pada advokasi lingkungan hidup tetap menyandar kuat pada risiko bencana. berbagai kebijakan yang memperbesar kerawanan dan kerentanan menjadi fokus kerja WALHI. penguatan organisasi rakyat maupun pembelaan lingkungan diarahkan pada analisis risiko bencana yang akan terjadi. Demikian juga advokasi dalam penataan dan pemanfaatan ruang. Berbagai analisis tersebut terbukti saat ini. Bencana semakin meluas dan masyarakat menjadi korban utama dari salah urus dan salah kebijakan tersebut.

Mega Bencana Tsunami, 26 Desember 2004 merenggut direktur eksekutif WALHI Aceh bersama 200 ribu lebih warga lain. Kerja-kerja penanganan bencana dilakukan WALHI sejak awal. bersama ratusan relawan yang datang dari berbagai daerah serta kelompok2 masyarakat sipil, WALHI bergerak. Kerja-kerja kemanusiaan berbaur dengan upaya mendorong perdamaian. 30 tahun aceh di cekam ketakutan akibat konflik bersenjata. 30 tahun juga rakyat aceh dibuat tidak pasti dalam menjalani kehidupannya.

Penanganan luar biasa dengan dukungan penuh dari seluruh lembaga anggota, eksekutif daerah serta WALHI Nasional menghantarkan WALHI lebih berperan nyata. WALHI pun dapat disejajarkan dengan berbagai organisasi dunia yang telah berpengalaman menangani bencana. dan melalui pertemuan nasional lingkungan hidup (PNLH), pertemuan tertinggi dalam organisasi WALHI, diputuskan untuk membentuk divisi khusus (desk) untuk menangani bencana dan proses pembangunan kembali Aceh dan Sumatra Utara.

Mandat kelembagaan semakin memposisikan WALHI eksis diantara lembaga-lembaga internasional dalam pengelolaan bencana. Berbagai even tingkat nasional, regional bahkan internasional telah membuktikan WALHI sebagai lembaga dengan konsep yang jelas dalam pengembangan pengelolaan risiko bencana.

Kini, berbagai gagasan WALHI mewarnai berbagai inisiatif pengelolaan bencana di tingkat nasional dan asia pasifik. Dan itu akan terus berkembang untuk mewujudkan tercapainya kehidupan warga negara yang lebih bermartabat. terbebas dari ketakutan atas ancaman bencana...

Saturday, November 25, 2006

REPUBLIK BENCANA

Sumpah...!!! Indonesia itu REPUBLIK BENCANA. Jadi jalur cicin api pasifik (kerennya pasific ring of fire) menyuguhkan ancaman letusan gunungapi. Berada juga diantara 3 lempeng bumi; india australia, euroasia dan lempeng pasifik menyebabkan rawan gempa dan tsunami. beragam suku, ras, religi serta kepentingan berpotensi memunculkan konflik sosial. keragaman hayati yang diciptakan karena iklim tropis, negatifnya adalah menyediakan bonus banjir, longsor, dan kekeringan akibat salah urus. wabah penyakit pun tak ketinggalan dengan penanganan buruk berselimut KKN. wajar, jika 93 % kawasan Indonesia rawan bencana. namun yang menyedihkan, ancaman yang begitu mengerikan tersebut tidak dijadikan landasan untuk bertindak. berbuat untuk melindungi dan menyelamatkan anak negeri ini. akibatnya, 98% warganya menjadi rentan. dampak dari kelalaian dan ketidak pedulian itu amat sangat fatal. 200 ribu jiwa menjadi korban tsunami di Aceh, 500 di pangandaran. 7.000 lagi akibat gempa jogja-klaten. Ribuan lainnya tewas akibat bencana banjir, longsor, banjir bandang, epidemi, kerusuhan sosial. Hanya dalam 6 bulan saja, paling tidak tercatat 74 kali bencana. lebih dari 10.000 meninggal sia2. lebih dari 5 juta penduduk berstatus pengungsi. Trilyunan rupiah ikut musnah hanya dalam hitungan detik. trilyunan rupiah harus dikeluarkan untuk menangani dan melakukan pembangunan kembali. Karena negara kita bokek.. maka hutang luar negeri pun menjadi pilihan utama. ketergantungan pun tercipta. Berbagai bantuan diikuti dengan segudang kepentingan, menjepit negeri ini dalam ketidak berdayaan. Bantuan pemerintah lamban... bantuan pemerintah tidak mencukupi. presiden memberikan batuan ini. wakil presiden sumbangkan itu. menteri datang menyerahkan bantuan dan diterima secara simbolis oleh si fulan.... Lah.. kok bantuan? bukan bantuan lagi. itu emang "kewajiban". Presiden, Wapres atau para menteri itu, jika barang atau dananya dari kas negara, itu kewajiban. kecuali dari koceknya sendiri.. tapi mungkinkah????? imposible juga rasanya.. ketika masih bisa menggunakan dana atau barang milik negara. Jadi... gak patut disebut bantuan. dan pantas juga kalau jumlahnya kurang. karena pemenuhi kewajiban sesuai dengan standar itu hukumnya wajib. Konstitusi yang memandatkan itu, UUD '45. selain itu, menjadi kewajiban pemerintah juga memnberikan jaminan atas keselamatan dan perlindungan warga negara dari ancaman bencana. Betul adanya, melakukan berbagai upaya mereduksi risko dan ancaman bencana tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah. tapi dilakukan secara kolektif. Namun, peran dan fungsi jangan dilupakan. Tidak pantas kiranya, jika warga masayarakat membuat kebijakan pengelolaan risko bencana. Sama tidak layaknya pemerintah melakukan kerja bakti memperbaiki tanggul yang rusak. Untuk itu, menyiapkan anggaran pengurangan risiko dan dampak bencana, membuat perencanaan kedaruratan, membuat kebijakan, membuat sistem penanganan bencana serta memfasilitasi masyarakat adalah tugas pemerintah. kewajiban. Untuk itu, orang2 yang duduk dipemerintahan mendapatkan segenap hak. Demikian juga ditingkat rakyat, kewajibannya adalah mengikuti rambu2 yang telah dibuat, tidak melanggar maupun melakukan berbagai upaya secara riil apa yang telah digariskan. Untuk itu, warga mendapatkan haknya, termasuk dilindungi dan terselamatkan dari ancaman bencana. Jika sudah begitu... bukankah menjadi mudah.. tinggal bagaimana hukum yang telah dibuat secara partisipatif tersebut ditegakkan. yang salah mendapatkan hukuman sesuai dengan kesalahannya. Penegak hukum menjalankan fungsinya dengan baik. masyarakat mengawasi dan mengingatkan jika terjadi kekeliruan.. Indahnya negeri ini jika demikan adanya. Tinggal dan hidup di Republik Bencana bukan lagi harus ditakuti bukan...